Minggu, 15 Mei 2011

PUISI SUFISTIK


Aku ingin menyentuh & menatap wajahmu,
bukan dengan sentuhan tangan dan pandang mata,
tapi dengan sentuhan & pandang cahaya yang bisa menjauhkan gelap dari terang,
hingga duri tak sempat meruncing perih.
Aku ingin menggenggammu bukan dengan tangan,
tapi dengan kekuatan hati nan dalam,
yang bisa menjauhkan keburukan dari keindahan hingga fitnah tak brtahan melepaskan apa yg kita genggam. Aku ingin mencium jemarimu bukan dengan bibir,
tapi dengan zikir yg bisa menjauhkan kotor & bersih,
hingga nafas tak hapuskan kesucian.
Oh,membuncah air mataku,
dalam menyentuh wajah, kuat menggenggam hati, dan hening jemari suci.... 
Oleh: Juwandi Ahmad

06.48 - No comments

RENUNGAN 8 MARET; HARI WANITA SE-DUNIA

Membincangkan kaum hawa (perempuan) tak akan pernah ada habisnya. Bahkan, disebutkan oleh para pengamat bahwa keajaiban kedelapan setelah tujuh keajaiban dunia adalah kaum hawa. Telah ada banyak pembahasan tentang hawa, mulai dari penciptaanya hingga berbagai dinamika kehidupannya, namun tak satupun menemukan bahasan yang tuntas menyeluruh. Dengan demikian, isu seputar kaum hawa dan tuntutannya terhadap kesetaraan status dan kehidupan sosial kemasyarakatan (gender) tak akan pernah menjadi isu yang kering (out of date).
Sejarah mencatat bahwa sebagian besar peradaban-peradaban yang pernah ada sangat mendeskriditkan kaum hawa. Kaum hawa dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting, tidak perlu dibicarakan, tidak perlu dipikirkan hak dan kewajibannya dalam hidup ini. Hawa ibarat perhiasan, namun tidak dianggap berharga. Mereka yang kebetulan lahir di dalam kastil-kastil akan menjadi hiasan di sana, disimpan didalamnya dan jika diperlukan dapat digunakan sesuka hati. Sedangkan jika kebetulan mereka lahir jauh di luar tembok-tembok kastil/ istana,  maka nasibnya akan lebih mengenaskan lagi, bahkan dianggap tak berharga, sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah.
Bahkan, seorang penulis novel asal Inggris mengungkapkan mentalitas kaum hawa dengan ungkapan, meskipun perempuan itu penting dan diperlakukan dengan baik, mereka tetaplah menempati posisi nomor dua setelah laki-laki (Ali Hosein Hakim, et, al, 2005: 54).
Tidak dapat dipungkiri bahwa realitas saat ini tidak begitu banyak merubah kehidupan sosial kaum hawa, dimana ilmu pengetahuan telah berkembang dan peradaban semakin maju. Kaum hawa memang tidak lagi didiskreditkan secara fisik dengan cara boleh dibunuh atau dianiaya, namun kaum hawa tetap saja dibatasi dengan kesenjangan dalam sosial kemasyarakatannya. Misalnya, stereotype dalam masyarakat bahwa yang lazimnya bekerja hanya laki-laki sedangkan kaum hawa sebaiknya hanya di rumah saja dan lain sebagainya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, sebuah upaya penyetaraan posisi kaum hawa dalam pandangan sosial kemasyarakatan menjadi sangat urgen. Kebutuhan inilah yang kemudian menjadikan gender sebagai sebuah isu sentral dalam perjuangan makhluk kelas sosial kedua ini.
Namun, permasalahan tidak lantas berhenti sampai di situ. Spekulasi seputar kehidupan kaum hawa terus berkembang dan bertambah kompleks. Dalam upayanya untuk mendapatkan apresiasi yang sama di ranah social kemasyarakatan dengan kaum adam, kaum hawa harus menghadapi prasangka buruk terhadap istilah gender. Gender dianggap hanya membicarakan kaum hawa an sich, sehingga menjadi momok tersendiri bagi kaum adam dan masyarakat umum untuk membicarakannya.
 Padahal jika ditelusuri asal penggunaan istilah tersebut, maka istilah tersebut sesungguhnya tidak hanya digunakan bagi kaum hawa. Pemakaian istilah gender untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Anne Vakley, yang diartikan sebagai suatu konsep tentang sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim) yang dibentuk secara sosio-kultural (Dadang Anshori, dkk, 1997). Dengan kata lain, yang dibicarakan dalam gender ini adalah adam dan hawa dalam kaitannya dengan status, peran, dan interrelasi keduanya yang sederajat. Adapun yang diusung dalam isu gender ini adalah pemahaman bahwa kaum hawa dan kaum adam memiliki hak dan kewajuban masing-masing untuk diakui, dianggap sama pentingnya dalam kaca-mata sosial dan budaya. Sebagai contoh, jika kaum adam berhak mendapatkan pendidikan, maka hawa pun memiliki hak yang sama.
Permasalahan-permasalahan di atas hakikatnya tidak hanya berasal dari eksternal diri perempuan (kebudayaan dan pemahaman masyarakat), tetapi juga terkadang berasal dari diri wanita itu sendiri yang telah terbiasa memposisikan diri sebagai makhluk kelas dua.
Untuk itu, hari wanita sedunia yang bertepatan pada 8 Maret ini hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk reinterpretasi dalam upaya pengukuhan peran dan fungsi wanita pada ranah social kemasyarakatan. Wanita bukanlah makhluk kelas dua yang menempati ruang kemanusiaan yang tersisa dari keberadaan pria pada bidang social kemasyarakatan, tapi wanita memiliki identitas tersendiri yang mampu eksis secara tegas dan setara dalam kemanusiaannya. Wanita memiliki peran dan fungsi tidak hanya pada ruang domestic (rumah-tangga) tapi juga memiliki peran publik sesuai dengan profesionalitas yang dimilikinya. SELAMAT HARI WANITA SE-DUNIA! JAYALAH KOHATI, bahagia HMI!

06.25 - No comments

BELAJAR MENJADI HAMBA DAN KHALIFAH DARI MUHAMMAD


“Sesungguhnya benar-benar telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi siapa saja yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir, dan dia banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan dan menurunkan Nabi Muhammad Saw dan Nabi-Nabi lainnya sebelum beliau ke muka bumi adalah sebagai suri tauladan yang baik bagi makhluk-Nya yang ingin mencapai kesempurnaan kemanusiaan dan kehambaan. Menurut Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, kata ‘Uswatun Hasanah’ dalam ayat tersebut mengandung pesan contoh atau model yang baik, indah, dan sempurna. Di dalam diri Rasulullah Saw terdapat ilmu dan pengetahuan tentang proses diri dari segumpal daging hingga menjadi Insan Kamil. Juga, metode pengembangan genetika profetik (kenabian), pengembangan dan pertumbuhan diri, pencarian jati diri, hakikat diri, pendewasaan diri, pematangan diri, dan sebagainya.
Selain realitas tekstual yang menegaskan mengenai figuritas seorang Rasulullah, terdapat pula penegasan secara kontekstual-historis mengenai ketokohan Nabi Muhammad Saw sebagai suri tauladan bagi umat manusia. Salah satunya adalah pengakuan Michael H. Hart dalam bukunya yang menjadikan Muhammad sebagai tokoh pertama yang paling berpengaruh dalam sejarah. Hal ini megindikasikan bahwa eksistensi Muhammad Saw tidak hanya berpengaruh dan layak di contoh oleh umat Islam, tetapi juga telah diakui secara objektif dan universal. Michael H. Hart mengemukakan bahwa salah satu alasannya adalah pengaruh Muhammad tidak hanya terhadap teologi Islam, tetapi juga pokok-pokok etika dan moralnya yang dapat diterima secara universal oleh seluruh umat manusia.
Secara umum, terdapat dua kualitas diri yang dimiliki Rasulullah sebagai insan kamil, yaitu kualitas vertikal sekaligus horizontal. Kualitas manusia sebagai seorang khalifah di muka bumi sekaligus kualitasnya sebagai seorang hamba Tuhan. Dualitas kualitas diri ini kemudian melahirkan kualitas-kualias diri yang termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari dengan semangat untuk memperoleh keridhaan dan kecintaan-Nya. Dua kualitas diri Muhammad Saw tersebut dimanifestasikan menjadi sifat-sifat manusia yang menyejarah serta memiliki dimensi kemanusiaan sekaligus kehambaan. Sifat-sifat tersebut di antaranya adalah shiddiq (benar dan jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (pintar dan bijaksana).
Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai orang yang Shiddiq (benar dan jujur). Maksudnya, apapun yang disampaikannya adalah benar, dan disampaikan secara jujur. Dalam hal ini, seorang Nabi tidak mungkin menyampaikan wahyu yang dusta dan dibuat-buat serta kejujurannya mencakup jujur dalam niat, maksud, perkataan, dan perbuatan. Muhammad juga dikenal sebagai orang yang amanah (dapat dipercaya) baik dalam perkataan, perbuatan serta contoh yang disampaikannya. Karena sifatnya yang dapat dipercaya inilah, sehingga apapun yang disampaikannya menjadi terjaga keutuhan dan kesahihannya serta dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, Muhammad juga memiliki sifat tabligh (menyampaikan). Dalam hal ini, tablig mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang disampaikannya adalah hal-hal yang layak disampaikan tidak hanya melalui lisan, tetapi juga disampaikan melaui contoh/ teladan perbuatan yang dilakukannya. Rasulullah Saw juga dikenal karena sifat fathanah (pintar dan bijaksana). Artinya, Nabi Muhammad adalah seorang Nabi yang cerdik, pintar, berwawasan luas, memiliki pemikiran yang mendalam dan mampu mengambil keputusan dengan cepat dan bijaksana. Meskipun beliau adalah seorang yang tak memiliki kemampuan membaca dan menulis, tetapi hal tersebut tak  mereduksi maknapintar dan bijaksana yang dimilikinya, karena kepintaran dan kebijaksanaanya adalah anugrah luar biasa yang diberikan oleh Allah Swt.
Tetapi, sebagaimana yang telah diungkapkan pada ayat di atas bahwa meskipun telah tampak dengan nyata sebuah teladan yang baik dan benar dari hamba Allah yang paling sempurna yaitu Rasulullah, tidak semua hamba Allah (umat manusia) mampu menyadarinya. Hanya hamba Allah yang banyak mengingat-Nya serta orang-orang yang selalu berorientasi kepada akhirat yang mampu meneladani Rasulullah. Semoga kita menjadi orang-orang yang senantiasa meng-hamba dan me-manusia secara sempurna, senantiasa hanya mengharap rahmat dan keridhoan-Nya di setiap gerak dalam kebaikan, meng-internalisasi nilai-nilai kejujuran, amanah, serta kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya, semoga perayaan bulan kelahiran Rasulullah (maulid) tidak semata menjadi sebuah kebudayaan yang mengaburkan substansi yang semestinya dihayati dalam perayaan tersebut, tetapi menjadi sebuah indicator kearifan dan kebijaksanaan dalam beragama serta membumikan agama dalam kehidupan.   

06.23 - No comments

Kritik Gerakan HMI di Kampusku


Saat ini, gerakan mahasiswa sebagai wujud aktualisasi perannya sebagai agent of change (agen perubahan) dan agent of social control (agen pengawas social) sedang berada dalam kondisi dilematis. Kemunduran-kemunduran dalam “kualitas” dan “kuantitas” gerakan menjadi salah satu indikator. Begitu banyak aksi-aksi demonstrasi yang tidak efektif dan terkesan tidak mampu menyampaikan aspirasi tertentu yang sedang diusung oleh mahasiswa menunjukkan kemunduran gerakan dari segi “kualitas”. Sedangkan sepinya diskusi-diskusi dalam forum dan gerakan mahasiswa merupakan salah satu gejala penurunan “kuantitas” gerakan mahasiswa. ini adalah sebuah fenomena yang menggejala secara universal dalam dunia pergerakan mahasiswa di Indonesia.
Di sisi lain, terdapat fenomena “kembali ke kampus” pada kalangan mahasiswa kini. Mahasiswa berlomba-lomba untuk menamatkan studi di perguruan tinggi secepatnya atau dalam istilah popular disebut dengan study oriented. Mereka hanya focus pada studi mereka sehingga tidak memiliki waktu untuk mengasah kekritisan dan kepekaan mereka terhadap permasalahan social dan kenegaraan di sekitarnya. Tujuan mereka memasuki perguruan tinggi hanyalah tujuan pragmatis semata untuk mendapatkan gelar kesarjanaan dan pekerjaan tertentu yang mereka anggap layak. Akhirnya, mereka terlupa bahwa keberadaan mereka diperguruan tinggi menandakan keistimewaan peran intelektualisme yang diemban yang seharusnya dapat kontributif dan aspiratif terkait dengan persoalan-persoalan kebangsaan dan keummatan.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu organisasi mahasiswa tertua di Indonesia—yang terkenal taring perjuangannya dalam melawan PKI dan kepeloporannya dalam gerakan reformasi yang turut menjatuhkan rezim orde baru—tidak luput dari fenomena study oriented pada kader-kadernya. Organisasi yang bervisi keummatan dan kebangsaan itu kini bagaikan macan tua yang telah kehilangan cakar dan taringnya. Ditambah lagi, kasus-kasus anarkisme yang jelas menjadikan stigma tersendiri pada HMI akhir-akhir ini, semakin membuat macan tua itu tampak lusuh dan tak lagi ditakuti. Dengan demikian bagaimana mungkin akan memainkan peran sebagai moral and social force?
Keberadaan fenomena tersebut, secara kuantitas telah mengurangi jumlah mahasiswa yang mengikuti seremonial pengkaderan (Basic Training dalam HMI) untuk bergabung sebagai anggota. Secara kualitas, sepinya pemikiran-pemikiran mengenai ilmu pengetahuan dari kalangan mahasiswa, kecenderungan politisasi, pragmatisme, hedonisme, ketidakpekaan kader terhadap persoalan keummatan dan kebangsaan telah terindikasi dalam tubuh HMI. Hal tersebut tentu tak dapat dibiarkan, jika ingin mempertahankan eksistensi HMI di dunia pergerakkan mahasiswa.
Idealnya, seorang mahasiswa (apalagi yang berstatus sebagai kader HMI), secara individu bervisi keummatan dan kebangsaan serta memiliki identitas dalam aspek akademis, aspek organisasional dan aspek social politik sebagai konsekuensi dari identitas kemahasiswaannya. Dengan kualifikasi tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi agent of social control dan agent of change. Keseimbangan dari ketiga aspek tersebut yang saat ini tidak dapat dilaksanakan. Di satu sisi, perlu adanya reinterpretasi dan revitalisasi terkait peran mahasiswa dalam kerangka ketiga aspek yang telah disebutkan di atas. Namun, di sisi lain fenomena study oriented juga teridentifikasi sebagai upaya sistematis yang sengaja diciptakan oleh pihak tertentu agar mahasiswa tidak dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara leluasa. Dalam hal ini misalnya upaya pembatasan secara tidak langsung dari pihak perguruan tinggi terhadap kegiatan-kegiatan mahasiswa di luar perkuliahan.
Dengan berbagai hambatan dan tantangan yang terindikasi di atas, maka upaya-upaya revitalisasi dan reinterpretasi peran serta pergerakan mahasiswa menjadi urgen. secara harfiah, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan diskursus-diskursus, workshop-workshop, serta diskusi-diskusi terkait dengan upaya penumbuhan ghiroh dan kesadaran mahasiswa itu sendiri. Namun, selain itu, perlu upaya-upaya sistematis yang berupa dukungan dari berbagai pihak yang dapat menciptakan iklim yang baik bagi aktualisasi peran mahasiswa.




  

06.22 - No comments

Kritik Gerakan HMI di Kampusku

Saat ini, gerakan mahasiswa sebagai wujud aktualisasi perannya sebagai agent of change (agen perubahan) dan agent of social control (agen pengawas social) sedang berada dalam kondisi dilematis. Kemunduran-kemunduran dalam “kualitas” dan “kuantitas” gerakan menjadi salah satu indikator. Begitu banyak aksi-aksi demonstrasi yang tidak efektif dan terkesan tidak mampu menyampaikan aspirasi tertentu yang sedang diusung oleh mahasiswa menunjukkan kemunduran gerakan dari segi “kualitas”. Sedangkan sepinya diskusi-diskusi dalam forum dan gerakan mahasiswa merupakan salah satu gejala penurunan “kuantitas” gerakan mahasiswa. ini adalah sebuah fenomena yang menggejala secara universal dalam dunia pergerakan mahasiswa di Indonesia.
Di sisi lain, terdapat fenomena “kembali ke kampus” pada kalangan mahasiswa kini. Mahasiswa berlomba-lomba untuk menamatkan studi di perguruan tinggi secepatnya atau dalam istilah popular disebut dengan study oriented. Mereka hanya focus pada studi mereka sehingga tidak memiliki waktu untuk mengasah kekritisan dan kepekaan mereka terhadap permasalahan social dan kenegaraan di sekitarnya. Tujuan mereka memasuki perguruan tinggi hanyalah tujuan pragmatis semata untuk mendapatkan gelar kesarjanaan dan pekerjaan tertentu yang mereka anggap layak. Akhirnya, mereka terlupa bahwa keberadaan mereka diperguruan tinggi menandakan keistimewaan peran intelektualisme yang diemban yang seharusnya dapat kontributif dan aspiratif terkait dengan persoalan-persoalan kebangsaan dan keummatan.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu organisasi mahasiswa tertua di Indonesia—yang terkenal taring perjuangannya dalam melawan PKI dan kepeloporannya dalam gerakan reformasi yang turut menjatuhkan rezim orde baru—tidak luput dari fenomena study oriented pada kader-kadernya. Organisasi yang bervisi keummatan dan kebangsaan itu kini bagaikan macan tua yang telah kehilangan cakar dan taringnya. Ditambah lagi, kasus-kasus anarkisme yang jelas menjadikan stigma tersendiri pada HMI akhir-akhir ini, semakin membuat macan tua itu tampak lusuh dan tak lagi ditakuti. Dengan demikian bagaimana mungkin akan memainkan peran sebagai moral and social force?
Keberadaan fenomena tersebut, secara kuantitas telah mengurangi jumlah mahasiswa yang mengikuti seremonial pengkaderan (Basic Training dalam HMI) untuk bergabung sebagai anggota. Secara kualitas, sepinya pemikiran-pemikiran mengenai ilmu pengetahuan dari kalangan mahasiswa, kecenderungan politisasi, pragmatisme, hedonisme, ketidakpekaan kader terhadap persoalan keummatan dan kebangsaan telah terindikasi dalam tubuh HMI. Hal tersebut tentu tak dapat dibiarkan, jika ingin mempertahankan eksistensi HMI di dunia pergerakkan mahasiswa.
Idealnya, seorang mahasiswa (apalagi yang berstatus sebagai kader HMI), secara individu bervisi keummatan dan kebangsaan serta memiliki identitas dalam aspek akademis, aspek organisasional dan aspek social politik sebagai konsekuensi dari identitas kemahasiswaannya. Dengan kualifikasi tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi agent of social control dan agent of change. Keseimbangan dari ketiga aspek tersebut yang saat ini tidak dapat dilaksanakan. Di satu sisi, perlu adanya reinterpretasi dan revitalisasi terkait peran mahasiswa dalam kerangka ketiga aspek yang telah disebutkan di atas. Namun, di sisi lain fenomena study oriented juga teridentifikasi sebagai upaya sistematis yang sengaja diciptakan oleh pihak tertentu agar mahasiswa tidak dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara leluasa. Dalam hal ini misalnya upaya pembatasan secara tidak langsung dari pihak perguruan tinggi terhadap kegiatan-kegiatan mahasiswa di luar perkuliahan.
Dengan berbagai hambatan dan tantangan yang terindikasi di atas, maka upaya-upaya revitalisasi dan reinterpretasi peran serta pergerakan mahasiswa menjadi urgen. secara harfiah, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan diskursus-diskursus, workshop-workshop, serta diskusi-diskusi terkait dengan upaya penumbuhan ghiroh dan kesadaran mahasiswa itu sendiri. Namun, selain itu, perlu upaya-upaya sistematis yang berupa dukungan dari berbagai pihak yang dapat menciptakan iklim yang baik bagi aktualisasi peran mahasiswa.