Rabu, 24 Agustus 2011

MARIO TEGUH

Engkau yang sedang terluka oleh duri cinta,

Sini ... datanglah mendekat kepadaku ...

Cinta itu seperti mawar,
...yang bukan mawar jika ia tak berduri,
dan bukan cinta jika ia tak mengenalkanmu
kepada kepedihan.

Cinta itu tak harus buruk untuk memedihkan hati,
karena bahkan keindahan dari kerinduan dalam cinta pun –
pilunya tak tertandingi oleh setajam-tajamnya sembilu.

Cinta …

Lebih baik mencintai yang tak bisa kau miliki,
daripada memiliki yang tak bisa kau cintai.

Mario Teguh

Selasa, 16 Agustus 2011

AKU DAN 17 AGUSTUS (PART I)

Oleh: Zuraida

Merdeka! NKRI adalah harga mati! Allahuakbar!!
Jargon seperti itulah yang saat ini terngiang dalam benakku. Benar-benar jargon heroic-nasionalis yang tak ada tandingannya. Maklum, besok kan tanggal 17 Agustus, peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Adikku dan anak-anak sekolah lainnya sibuk mempersiapkan pakaian seragam dan stamina mereka. Seragam disetrika sampai licin dan stamina dikuat-kuatkan semaksimal mungkin dengan tambahan berbagai suplemen supaya tahan berjemur di bawah matahari saat upacara besok. Para pegawai kantoran juga tidak kalah sibuknya, melicinkan pakaian seragam mereka dan memperkuat stamina, selain juga berpikir bahwa setelah upacara mau kemana karena kerja otomatis diliburkan. Sementara aku, ah, santai saja, malahan malam ini begadang mencoba memikirkan tentang sesuatu.
Suasana kotaku juga agak berbeda. Hampir di setiap rumah berkibar dengan gagah sang saka merah putih. Di daerah perkantoran, pertokoan, supermarket, pasar, mall dan tempat public lainnya juga tidak kalah semarak oleh warna merah-putih dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada bendera, umbul-umbul, spanduk, kertas minyak merah-putih yang dirangkai panjang-panjang, baleho, dan lain sebagainya. Suasana kotaku rasanya sangat formal, nasionalis dan Indonesia banget. Bahkan dibeberapa tempat, tanggal 17 Agustus tidak hanya dirayakan dengan memampangkan merah-putih berbagai ukuran, tetapi juga dimaknai secara lebih mendalam dengan berbagai perlombaan yang mungkin melambangkan “perjuangan”. Selain itu, pada kalangan tertentu, yang lebih intelektual dan terbatas, perayaan 17an Agustus ini dilakukan dengan “mendiskusikan” kemerdekaan.
Kebetulan kali ini tanggal 17 Agustus bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, salah satu malam “keramat” sepanjang bulan ramadhan, yaitu malam nuzulul qur’an. Sudah dapat dipastikan bahwa perayaan 17an kali ini lebih semarak dan variatif. Terkait dengan 17 ramadannya, maka sebagian besar masjid akan lebih ramai dari biasanya, karena terkadang akan ada ceramah tentang nuzulul qur’an sekaligus khataman tadarrus Al-Qur’an yang terbilang istimewa. Beberapa masjid atau kelompok remaja masjid bahkan ada yang berinsatif untuk merayakannya dengan berbagai jenis perlombaan kategori “Islami”, seperti lomba baca qur’an, lomba azan, lomba hafalan surah pendek dan lain sebagainya. 
Bagiku, momentum 17an, 17 Agustus dan 17 ramadan yang jatuh bersamaan kali ini, merupankan sebuah pertanda alam yang mengindikaskan bahwa tanggal tersebut benar-benar istimewa. Tanggal tersebut seolah mengingatkan kita bahwa ada dua dimensi kehidupan manusia Indonesia yang harus diperhatikan dan mampu dijalankan secara seimbang yaitu, sebagai umat dan bangsa. Sebagai umat, semangat 17 ramadan yang harus dihayati tentunya harus lebih mendalam daripada ritualitas yang dirayakan. Nuzulul qur’an, setidaknya, mengajarkan kita mengenai integritas pribadi bahwa sebagai umat kita memiliki pedoman dalam bertindak dan berkehidupan yaitu Al-Qur’an. Sementara itu, sebagai bangsa, semangat 17 Agustus harus mampu dihayati sebagai sebuah titik tolak untuk terus berjuang membangun Negara bangsa  Indonesia ini agar senantiasa menjadi lebih baik. Oleh karena itu, 17an kali ini, menurutku, yang terpenting adalah penghayatan dan pengamalan oleh setiap anak bangsa untuk berjuang membangun Negara bangsa Indonesia agar senantiasa diridhai oleh Tuhan. Dengan kata lain, kita tidak hanya bicara tentang nasionalisme, tetapi relijiusitas atau kesalehan social; tidak hanya bicara mengenai pembangunan materil bangsa, tetapi juga landasan keyakinan dalam pembangunan tersebut.




ANOREXIA

Oleh: Zuraida

Entah sejak kapan tepatnya aku mulai menyadari gejala penyakit ini pada diriku. Anorexia. Mendadak aku jadi tidak suka makan, betapapun laparnya aku. Dalam ingatanku yang samar-samar, sudah hampir tiga bulan aku menjadi jarang makan. Aku bukanlah typical perempuan yang terobsesi akan keindahan tubuh atau terobsesi untuk langsing semampai. Aku pikir aku tidak memerlukannya. Aku telah sangat bersyukur dengan posturku yang mungil
Awalnya, aku jarang makan karena kesibukan, meski sebenarnya tidak benar-benar sibuk. Tapi aku seringkali mengulur waktu makanku, hingga akhirnya aku hanya makan 1 kali dalam sehari. Lambat laun aku menjadi terbiasa dengan pola dan porsi makan yang seperti itu. Pada saat itu, setidaknya aku masih merasa normal karena nafsu makanku tidak berkurang.
Namun, beberapa bulan terakhir aku benar-benar menolak untuk makan. Kalaupun makan, aku akan makan sangat sedikit dan minum sangat banyak. Adikku bilang, pasti ada faktor psikologis yang mempengaruhiku untuk menolak makan, alasan lain selain tidak merasa lapar. Aku berpikir…mungkin tiga bulan belakangan ini ada peristiwa traumatis yang membuatku menolak untuk makan. Aku berpikir keras saat itu dihadapan seporsi lamongan, hingga akhirnya lamongan yang aku santap tak terjamah sementara adikku telah  menandaskan isi piringnya. Berpikir mengapa aku menolak makan saja sebenarnya merupakan alasanku untuk mengulur waktu makan, sebuah cara halus untuk menolak makan.
Tiba-tiba aku teringat sebuah peristiwa yang terjadi tiga bulan yang lalu. Saat itu malam minggu dan aku pulang terlambat diantar oleh seorang teman pria hingga ibuku marah besar. Kemarahan ibuku meledak dan sejak saat itu ia menolak untuk bicara padaku. Seingatku sejak saat itulah nafsu makanku menurun drastik. Parahnya lagi, sejak saat itu ibuku jadi sering menangis sendirian dan setiap kali ibuku menangis, maka saat itu juga aku menolak untuk makan. Akhirnya, aku menjadi terbiasa tidak makan, bahkan saat berpuasa sekalipun, seringkali aku tidak ikut sahur dan hanya makan makanan ringan saat berbuka. Semoga aku bisa sembuh.

Minggu, 14 Agustus 2011

SEBASKOM CUCIAN DAN BEASISWA

Oleh: Zuraida

Suatu minggu pagi yang cerah, pada ramadhan 1432 H, aku sedang mencuci sebaskom penuh pakaian, ketika suara teriakan adikku mengagetkanku dari arah ruang tamu. Dia memanggil namaku berkali-kali, setengah memaksa dan dengan enggan kujawab tanpa segera memenuhi panggilannya. Sayup-sayup kudengar suara teriakan itu berubah jadi gumaman kesal. Tak berapa lama kemudian ia telah berdiri dibelakangku, bertolak pinggang dengan wajah kesal. Aku menoleh padanya seraya tersenyum kecut. Kuangkat kedua lenganku yang sedari tadi terendam di dalam baskom, memperlihatkannya padanya, lengan yang hampir kisut dan berlumuran busa. Tapi raut wajahnya tak berubah, bahkan semakin mengeras seolah menegaskan bahwa kabar yang ia bawa lebih penting dari sebaskom cucianku.
Benar dugaanku, bahwa berita yang dibawanya kali ini bukan berita sembarangan. Ia menyampaikan berita yang tidak biasa dan beberapa detik kemudian berita itu mampu memberikan sensasi tertentu pada perasaanku.
Ada beasiswa ke luar negeri dari PBHMI dan KAHMI, begitu katanya. Seketika itu juga aku menghentikan gerakan mengucek pakaianku dan menatapnya tajam, tak percaya dengan apa yang aku dengardan berusaha mencari kebenaran di air mukanya yang keras dan serius. Tuhan, apakah aku tidak salah dengar? Gumamku dalam hati.
Dia rupanya menangkap ketidakpercayaan dari reaksiku, kemudian mengulangi kembali pernyataannya disertai tambahan penjelasan bahwa aku dapat melihat sendiri pengumumannya di beberapa website yang ia temukan. Serta merta aku melonjak dari bangku kayu yang aku duduki di depan baskom cucian. Dengan lengan yang masih basah, aku menghambur kea rah adikku dan mengajaknya bergegas menghampir laptop yang sedang menyala di ruang tamu.
Adikku meraih mouse dan mengarahkan kursor ke link yang telah ditautkannya pada beranda facebook. Dalam dua detik, tautan itu terbuka dan menampilkan pengumuman beasiswa yang ia maksud.
Ratusan Beasiswa KAHMI untuk warga HMI
HMINEWS, Jakarta – Warga HMI bisa berbahagia, karena kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi kini lebih terbuka. KAHMI, melalui Yayasan Insan-cita Bangsa (YIB), bekerjasama dengan PB HMI (MPO) dan HMI-Dipo) merekrut penerima beasiswa ke luar negeri bagi warga HMI (yang masih berstatus anggota maupun alumni) untuk program magister (S2) dan doctoral (S3). Seleksi akan berlangsung tiga tahap: tahap pertama, seleksi internal di PB HMI masing-masing; tahap kedua, seleksi di YIB-KAHMI; dan tahap ketiga, seleksi di kampus yang akan dituju di luar negeri.
Untuk seleksi internal, PB HMI-MPO menetapkan syarat-syarat yang meliputi: Pertama, menunjukkan kartu anggota HMI dan/atau surat keterangan dari cabang asalnya; Kedua, diutamakan yang telah lulus Senior Course (SC) di HMI, pernah menjadi presidium HMI Cabang, dan/atau Ketua Umum HMI Komisariat; Ketiga, memiliki IPK 3.00; Keempat, dapat berbahasa asing dan/atau memiliki skor Test of English as a Foreign Language (TOEFL) sebesar 500 poin; Kelima, bersikap loyal terhadap HMI, baik sebelum dan setelah program ini; dan Keenam, menyerahkan makalah mengenai orientasinya tentang program ini terkait dengan aspek keislaman, kebangsaan, dan ke-HMI-an.
Jumlah total penerima beasiswa yang akan dikirim untuk angkatan pertama ini adalah 100 orang, yang merupakan gabungan dari anggota HMI-MPO, HMI-Dipo, dan KAHMI (unsur alumni). Penyeleksian akan bersifat obyektif, transparan, dan rasional, berdasarkan kemampuan masing-masing calon peserta, tanpa memandang latar belakang keanggotaannya di HMI. Calon penerima beasiswa yang dinyatakan lulus pada tahap kedua di YIB-KAHMI, akan dibekali dengan pendalaman materi khusus berupa aspek kebahasaan, keinternasionalan, dan ke-HMI-an.
Pendaftaran dilakukan melalui e-mail PB HMI: sekretariat@pbhmi.net, dengan mengirimkan bukti dalam bentuk scan, berupa: keterangan keanggotaan HMI, sertifikat SC dan kepengurusan (jika ada), dokumen IPK, dokumen skor TOEFL atau keterangan dapat berbahasa asing lainnya, dan makalah dalam format PDF (minimal 5 halaman kuarto spasi 1,5). Batas akhir pendaftaran dibuka sampai tanggal 28 Agustus 2011. Hal-hal yang belum jelas dapat ditanyakan langsung melalui surat elektronik ke e-mail PB HMI di atas. []
Kemudian, dengan cekatan ia kembali mengklik sebuah tautan berbeda tentang beasiswa yang sama. Sebuah tab baru pun tebuka dan menampilkan informasi sejenis.


info Beasiswa dari Yayasan Insancita Bangsa (YIB)
Pengurus Yayasan Insancita Bangsa (YIB), dan PB HMI (DIPO & MPO), menyepakati dimulainya perekrutan calon penerima beasiswa pascasarjana ke luar negeri untuk warga HMI-KAHMI seluruh Indonesia. Ada 100 penerima beasiswa yang akan diberangkatkan pada Januari 2012. Adapun Timeline-nya adalah ;
  • Agustus-September 2011: Pendaftaran/rekomendasi via pengurus HMI Cabang, Pengurus Kahmi Wilayah
  • Oktober-Desember 2011 : Konseling, Pembekalan keterampilan/pengetahuan . dan pelatihan bahasa oleh YIB
  • Januari 2012 : Pemberangkatan penerima beasiswa ke Universitas /negara tujuan
Persyaratan Umum
  1. Menguasai bahasa asing, minimal TOEFL 500
  2. Memiliki IPK minimal 3,0
  3. Pernah mengikuti LK1, LK2 dan atau pernah menjadi pengurus di HMI cabang/komisariat
  4. Memiliki KTA HMI/Surat Keterangan Keanggotaan dari HMI Cabang.
catatan tambahan :
Yayasan Insancita Bangsa (YIB) adalah Yayasan yang didirikan oleh beberapa alumni HMI di Jakarta, 20 Mei 2011 untuk memberikan dan menyalurkan beasiswa bagi warga HMI/KAHMI yang ingin melanjutkan studi pasca sarjana ke luar negeri. Saat ini yang menjadi pengurus YIB adalah Jusuf Kalla (ketua Dewan Pembina), Anwar Nasution (Ketua Dewan Pengawas), La Ode Kamaludin (Ketua Pengurus) Laurel Heydir (Direktur Pelaksana)
Untuk info Lebih jelasnya, bisa diklik:
http://www.insancitabangsa.org/
sumber : forum alumni unhas

Begitu selesai membaca pengumuman tersebut, hatiku serasa terlonjak keluar dari dada. Inilah kesempatan yang aku tunggu, bisikku dalam hati. Minggu pagi yang cerah itu, seulas senyum penuh harapan mengembang dibibirku. Mungkinkah ini jawaban doa-doa kami Tuhan, ketika kaki-kaki sang pemimpi telah mulai luka tergores semak belukar rintangan yang menurunkan semangat. Jika benar ini adalah jawabnya, maka inilah ramadhan yang paling indah yang akan kami kenang, muara segala doa dan air mata. Perjuangan sebenarnya mungkin baru saja akan dimulai.

Jumat, 12 Agustus 2011

Malam Hujan Berangin


Suaramu jernih, menghambur dari ruang pikiranku
Berkata lembut di ujung telinga, “tutup jendelanya, sayang, malam hujan berangin.”
Aku bergeming
Semakin khusyuk menterjemahkan dingin dan hening
“Tahukah kau sayang, aku sedang berpikir tentang kita.” Sahutku dalam diam
Jangan-jangan….
Sayang, Kita hanyalah kumpulan orang terluka,
Yang merasa aman saat bersama.
Yang merasa sepi saat berpisah.
Tapi, apapun itu….semuanya sah-sah saja bukan, untuk mendatangkan cinta,
Selama tidak memaksa.
Karena itu sayang, biarkan aku di sudut pikiranku,
Termenung,
Mencoba menjamah rasa yang aku punya untuk kita..
Pada malam hujan berangin ini…
Kuterbangkan segala Tanya melalui sela-sela pintu dan jendela,
Tanya tentang kita.
Sekali lagi, suaramu jernih, menerobos hati,
Berkata penuh kasih di ujung telinga, “tutup jendelanya, sayang, malam hujan berangin.”
Aku terdiam, mencoba menutup hati darimu..
Kau tak tahu, sayang, betapa aku ingin menjawab bisikanmu
Tapi hatiku luka,
Aku tahu, kau sama…
Luka kita semakin parah.
Maka biarkan aku membalut luka pedih ini dengan tiupan angin,
Angin pada malam yang hujan…

Pontianak, subuh, hujan, saat mengingatmu, 13 Agustus 2011
oleh: Zuraida

Malam Hujan Berangin


Suaramu jernih, menghambur dari ruang pikiranku
Berkata lembut di ujung telinga, “tutup jendelanya, sayang, malam hujan berangin.”
Aku bergeming
Semakin khusyuk menterjemahkan dingin dan hening
“Tahukah kau sayang, aku sedang berpikir tentang kita.” Sahutku dalam diam
Jangan-jangan….
Sayang, Kita hanyalah kumpulan orang terluka,
Yang merasa aman saat bersama.
Yang merasa sepi saat berpisah.
Tapi, apapun itu….semuanya sah-sah saja bukan, untuk mendatangkan cinta,
Selama tidak memaksa.
Karena itu sayang, biarkan aku di sudut pikiranku,
Termenung,
Mencoba menjamah rasa yang aku punya untuk kita..
Pada malam hujan berangin ini…
Kuterbangkan segala Tanya melalui sela-sela pintu dan jendela,
Tanya tentang kita.
Sekali lagi, suaramu jernih, menerobos hati,
Berkata penuh kasih di ujung telinga, “tutup jendelanya, sayang, malam hujan berangin.”
Aku terdiam, mencoba menutup hati darimu..
Kau tak tahu, sayang, betapa aku ingin menjawab bisikanmu
Tapi hatiku luka,
Aku tahu, kau sama…
Luka kita semakin parah.
Maka biarkan aku membalut luka pedih ini dengan tiupan angin,
Angin pada malam yang hujan…

Pontianak, subuh, hujan, saat mengingatmu, 13 Agustus 2011
oleh: Zuraida