Kamis, 15 Desember 2011

SEBUAH PENANTIAN SETELAH PENANTIAN


Allah will make the path to paradise easy for whoever sets out on a path of seeking knowledge. –The Prophetic Promise-- 
Pasca pengumuman beasiswa itu, tidur saya tidak tenang. Saya bahkan tidak tahu apa yang saya rasakan. Apakah saya bahagia karena mimpi itu rasanya hampir nyata dan terendus? Tapi tidak juga. Rasanya biasa-biasa saja. Rasa bahagia hanya muncul satu kali, saat pertama kali mendengar pengumuman saja. Setelah itu rasanya biasa-biasa saja, apalagi saya masih harus menunggu sampai waktu yang belum dipastikan. Seringkali, dalam penantian ini, saya membujuk hati bahwa cepat atau lambat saya akan mengecap, merasai altar ilmu untuk berpendidikan tinggi di luar negeri.
Dalam penantian yang menjemukan ini, saya kembali menapaktilas perjuangan mencari beasiswa yang selama ini saya lakoni secara jatuh bangun. Saya merasa, memutuskan untuk bermimpi itu tidak mudah, sama halnya dengan memutuskan untuk keluar dari kewarasan, kemapanan dan keamanan. Banyak orang, bahkan orang tua saya sendiri menganggap saya pemimpi gila, menginginkan sesuatu yang dalam logika mereka tidaklah mungkin tercapai. Seringkali saya harus terluka dan menelan ludah, mendengar komentar mereka. Namun, di sisi lain, ketidakwarasan saya itu semakin menjadi-jadi.
Berikut ini adalah beberapa bentuk kegilaan yang saya lakukan demi sebuah mimpi yang terlalu tinggi tersebut. Saya selalu menghadiri seminar-seminar dan pameran-pameran pendidikan di kota saya. Saya bahkan berkonsultasi pada berbagai lembaga konsultan pendidikan luar negeri seolah-olah saya akan bersekolah ke luar negeri dengan biaya sendiri dan menggunakan jasa mereka. Saya mengumpulkan berbagai brosur perguruan tinggi dari berbagai negara sebanyak mungkin pada forum-forum pameran pendidikan luar negeri. Saya, dengan mengesampingkan rasa malu, menemui beberapa orang yang telah berpengalaman dalam mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri hanya untuk terus menumbuhkan motivasi ditengah-tengah omongan orang-orang yang justru menjatuhkan mental.  Saya bahkan sempat berkenalan dengan seorang berkewarganegaraan Australia yang sedang mempromosikan universitasnya, meminta ia bercerita tentang Australia agar saya semakin gila bermimpi. Bolak-balik saya mengakses internet, mencari informasi beasiswa luar negeri, kemanapun itu; mencari tips-tips meraih beasiswa dan motivasi-motivasi untuk tetap berjuang supaya (siapa tahu) dapat beasiswa; mengikuti milis-milis beasiswa dan peraih beasiswa, bahkan berkonsultasi dengan salah satu peraih beasiswa ADS yang menurut keterangannya telah gagal 5 kali dan berhasil pada kali ke 6; serta berbagai hal gila lainnya selama hampir satu tahun. Satu tahun itu terasa berabad-abad lamanya.
Padahal, kalau hanya ingin sekedar S2, tidak perlu segila ini. Pada akhir tahun 2010 lalu, saya lulus beasiswa ikatan dinas PPM School of Management di Jakarta. Namun, mungkin karena memang belum rezeki atau tidak berjodoh, saya tidak sempat mengurus surat-surat tanda penerimaan beasiswa dari orang tua saya, karena kebetulan saat itu saya sedang ada aktivitas di luar kota. Maka kesempatan itupun hilang dari genggaman. Saya akui saya memang paling ceroboh dalam banyak hal.  Beberapa beasiswa yang saya ajukan gagal hanya karena saya lupa membubuhkan tanda tangan pada halaman terakhir formulis aplikasi.
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat hingga tanpa terasa telah berada dipenghujung tahun. Sebagaimana yang saya ungkapkan sebelumnya bahwa bermimpi itu sungguh sulit. Di penghujung tahun itu saya sempat berpikir untuk menyerah saja, menjalani hidup yang biasa-biasa saja. Apalagi hingga saat itu, saya telah mendapatkan surat penolakan sebanyak 3 buah amplop putih formal yang berlambang lembaga penerima beasiswa luar negeri. Setiap kali mendapatkan surat penolakan itu, setiap kali itu pula saya menangis sejadi-jadinya, karena meski terkadang tahu bahwa saya tidak eligible, tetap saja ada harapan yang saya selipkan di setiap lembar aplikasi yang saya submit ke alamat penerima beasiswa. Dalam pikiran saya saat itu, saya telah memutuskan untuk bekerja saja dan menikah saja terlebih dahulu, sambil tetap menyimpan rapi mimpi itu dan suatu saat akan saya perjuangkan lagi. Akhirnya, setelah 6 kali mendaftar bermacam-macam beasiswa dalam satu tahun, titik terang mulai terlihat pada lamaran yang ke 5. Saya dan rekan saya yang mendaftar beasiswa yang sama, akhirnya dinyatakan lulus untuk mengikuti proses kursus intensif bahasa inggris yang dibiayai oleh lembaga pemberi beasiswa, sebelum tahap selanjutnya, tahap persiapan pendaftaran ke perguruan tinggi di luar negeri.
Mimpi itu benar-benar dirangkul Tuhan, kawan. Lelah dan keringat perjuangan itu dihapus oleh kasih-Nya, sebagaimana janji-Nya bahwa orang-orang yang senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh akan merasakan buah manis dari usahanya. Air mata yang selama ini mengalir rasanya sama sekali tak meninggalkan jejak kesedihannya lagi. Kegilaan kita, kawan, telah menjadikan mimpi ini nyaris nyata. Doa-doa memelas itu dijawab-Nya.
Hingga pagi berkabut itu, di bandara, saya melepas kepergian rekan seperjuangan saya yang kebetulan mengecap mimpi itu lebih awal dengan bangga. Perjuangan yang kita lakukan terbayang sepanjang perjalanan menuju bandara. Haru, bahagia, dan sangat ingin tahu mewarnai perasaan saya. Mungkin juga dia. Saya menangis pagi itu. Sesegukan. Namun, hati terasa sejuk dan tenang. Berulangkali saya berucap dalam hati, Alhamdulillah, kelak kita akan mengenang ini.
Sekarang, hampir pertengahan Desember. Saya menghitung tiap detik, tiap menit, tiap hitungan waktu yang rasanya sangat lama dalam penantian jelang giliran saya mengecap mimpi. Saya ingin berlari meninggalkan bulan ini. Setidaknya, saya berharap Desember berakhir lebih cepat daripada biasanya, agar penantian ini tidak menggerus semangat belajar.
Saya jadi ingat sebuah pesan singkat yang pernah mampir di inbox saya dari salah seorang rekan yang selalu memberikan motivasi tanpa disadarinya, yang berbunyi: “Jika anda punya mimpi dan keinginan, yakinlah terlebih dahulu bahwa anda mau dan sangat ingin meraihnya, lalu segenap alam akan bersatu padu membantu anda mewujudkannya dan bantuan itu akan datang dari berbagai penjuru mata angin. Ya asalkan anda mau (Sang Alkemis)”.
Pontianak, 12 Desember 2011, 12:37

Jumat, 09 Desember 2011

16.26 - 2 comments

LAKIKU DAN WARUNG KOPI

Oleh: Zuraida
Duhai lakiku yang bertandang dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya...
Kau telah menyisakan cemburuku pada ampas kopi di seperempat gelasmu,
Kau telah menjejakkan kesepianku diantara puntung rokokmu.
Terkadang aku bertanya pada gelap kamar, apa yang kau lakukan di luar sana
Sementara pikiran jalangku menjelajahi warung kopi tempatmu berada,
Membayangkan perempuan-perempuan muda dan cantik hilir mudik di hadapanmu seraya menawarkan kopi seperempat gelas.
Menerka pembicaraan rekanmu yang membuatmu berkhayal bahwa kuasa dan uang suatu saat akan ada di genggammu.
Bukankah itu yang terjadi di warung kopi, Lakiku?
Jangan kau larang aku cemburu, Lakiku, karena kau tak tahu rasanya menunggu dalam gelap kamar, sendirian hingga nyaris pagi,
Dengan pikiran membara, membakar habis percaya dan menyisakan khawatir.
Waktumu kau pekap habis di temaram warung kopi di ujung jalan itu.
Padahal aku membutuhkanmu, Lakiku.  Sangat.
Berharap dapat mendengar bisik mesramu menjelang tidur.
Bukan hanya aku, Lakiku, si kecil juga inginkan dongengmu.
(Pontianak, 08122011, 02:38)

NB: Sebuah perspektif tentang warung kopi. Kesannya saya membenci. Memang begitu nyatanya. Mengapa? Karena ayah saya tidak menyambut kelahiran saya di tepi pembaringan emak, hanya karena takut, dan lebih memilih mekap di warung kopi!

SEBUAH PERTANYAAN


Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa teman HMI mengunjungi salah seorang rekan yang orang tuanya sedang sakit keras. Rumah rekan tersebut cukup jauh, di luar kota Pontianak, masuk kabupaten kuburaya. Perjalanan menuju ke sana sungguh sangat sulit dan memakan waktu tempuh yang lumayan lama. Namun, tak sedikitpun kami mengeluh karena tujuan kami berkunjung untuk menunjukkan rasa belasungkawa dan kesetiaan.
Satu hal yang menarik, menggelitik pikiran saya hingga saat ini adalah salah satu bagian dari percakapan kami di teras rumah rekan tersebut. Rekan kami tersebut adalah etnis madura. Sementara teman satu rombongan, yang waktu itu berjumlah 7 orang, terdapat 2 orang etnis madura. Saat itu, kami sedang mengobrol lepas saja hingga statement tersebut dilontarkan dan diperkuat oleh rekan-rekan saya yang beretnis madura. Mereka mengungkapkan bahwa saat  ini mereka mengkhawatirkan generasi madura yang akan melupakan bahasa madura sehingga mereka mewajibkan berbahasa madura di rumah dan di dalam komunitas. Statement tersebut juga dibenarkan dan diperkuat oleh saudara dari tuan rumah, bahwa generasi tua madura khawatir bahwa suatu saat bahasa madura akan punah.
Mendengar statement tersebut, di dalam pikiran saya kemudian merasa lumrah jika selama ini saya perhatikan rekan-rekan madura saya lebih senang berbahasa madura jika bertemu dengan komunitasnya, baik itu di lingkungan mereka sendiri, maupun di keramaian di luar komunitasnya.
Beberapa saat setelah kunjungan kami untuk menjenguk orang tua rekan yang sedang sakit, kami kembali berkunjung ke rumah salah satu rekan yang juga tinggal di daerah yang sama. Rekan tersebut juga etnis madura. Dari percakapan ringan kami dengan tuan rumah, kembali saya mendapat penegasan bahwa saat ini generasi muda madura sudah banyak yang tidak dapat berbahasa madura halus, tidak hanya anak muda, orang tuanya juga. Ibunya rekan kami bahkan menceritakan pengalamannya pada prosesi lamaran etnis madura. Beliau menambahkan bahwa hanya generasi muda yang bersekolah (mondok) di pesanteren madura tradisional saja yang bisa menggunakan bahasa madura halus. Salah satu rekan dalam rombongan perjalanan kami  ternyata mampu berbahasa madura halus. Dia mengajak ibunya rekan saya berbahasa madura halus. Sementara kami hanya terdiam dengan pikiran masing-masing sambil mendengarkan bahasa-bahasa asing tersebut. Demikianlah alasan mengapa mereka harus berbahasa madura.
Namun tiba-tiba pikiranku melayang pada sebuah public hearing terbatas yang diadakan oleh YSDK beberapa waktu yang lalu. Saat itu, salah satu undangan merupakan perwakilan dari korban konflik sambas yang sekarang mengikuti program relokasi di Tebang Kacang. Secara materil, orang-orang tersebut telah hampir pulih. Tapi, mereka mengungkapkan bahwa muncul permasalahan-permasalahan lain yang harus mereka hadapi di tempat relokasi. Salah satu permasalahan yang mereka hadapi saat itu, bagiku, kontradiktif dengan statement-statement di atas. Di relokasi, orang-orang madura tersebut merasa didiskriminasi dengan menempatkan mereka satu komunitas di suatu tempat. Pasca konflik tersebut mereka berharap dapat berbaur kembali dengan etnis lain. Harapan mereka tersebut sangat beralasan karena jika mereka hanya dikumpulkan dalam satu komunitas dan satu lokasi, anak-anak mereka mengalami kesulitan untuk berbahasa Indonesia.
Kontradiktif bukan? Etnis madura yang tidak mengalami konflik secara langsung menganggap perlunya berbahasa madura secara intensif untuk mempertegas identitas tentunya. Sementara etnis madura yang mengalami konflik langsung justru merasa perlu untuk mendapatkan lingkungan yang plural agar dapat berbahasa Indonesia secara intensif!
Saya berpikir keras hingga hari ini. Namun, saya tahu jawaban bukanlah hadir dari pikiran saya atau dari literatur-literatur itu. Jawaban sepenuhnya ada pada mereka. Dan saya tidak mau menilai.