06.56 -
bookworm,fantasihoror,fiksi,Indonesiamembaca,kematian,novelhoror,novelterbit,santet
No comments
After The Death Chapter 2
Alih-alih mendapatkan ketenangan dari kebangkitannya, Santosa justru dihadapkan pada mimpi buruk lain. Setelah kelopak matanya terbuka sempurna, pemandangan ganjil justru terpampang, hingga membuat lelaki paruh baya itu mengerjap selama bermenit-menit penuh tanda tanya. Segala sesuatu di sekitarnya terlihat bernuansa monokrom; hitam, putih, abu-abu dengan gradasi warna yang berbeda-beda. Tidak ada warna lainnya. Pun tidak ada suara yang tertangkap pendengarannya kala itu. Santosa merasa dirinya bagaikan terjebak di dalam televisi besar yang seringkali disaksikannya di balai desa saat menonton acara layar tancap.
Sejauh mata memandang, Santosa tak menemukan satu makhluk pun selain dirinya yang tengah duduk bernaung di bawah satu-satunya pohon besar berwarna abu-abu tua yang tumbuh di tempat itu. Santosa mengerang saat merasakan luka di bahunya yang berdenyut kala ia menggeser tubuh. Rupanya kejadian mengerikan semalam bukanlah mimpi. Para ninja benar-benar menyerangnya dengan brutal. Namun, anehnya, Santosa tidak mati atau setidaknya ia pikir ia belum mati. T
Asumsi yang berkecamuk di dalam kepala Santosa lantas mendorongnya untuk menunduk dan mengamati luka-luka di sekujur tubuhnya yang menggelap kehitaman. Sisa-sisa darah yang menempel pada baju lusuhnya pun berwarna serupa, alih-alih merah. Bau anyir darah yang tercium samar-samar dan bias cahaya yang membuat luka itu tampak berkilat, meyakinkan Santosa jika lukanya belum kering. Akan tetapi, mengapa segala sesuatunya terlihat hitam putih tanpa warna? Apakah matanya bermasalah?
Dengan jari-jemarinya yang gemetaran, Santosa meraba kelopak matanya, mencari luka atau memar yang mungkin meninggalkan jejak. Setelah tak menemukan luka, ia lantas mengedipkan mata beberapa kali, berharap agar pandangannya dapat kembali seperti semula. Namun, bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, yang lelaki itu lakukan hanyalah kesia-siaan belaka. Pemandangan di hadapannya tak juga berubah.
Santosa mulai frustrasi. Ia mencengkeram rambut pendeknya yang berantakan, kemudian menarik-nariknya serupa orang linglung. Sepasang tungkainya menendang tanah dengan kasar dan tak tentu arah.
Tiba-tiba, suara rintihan lirih sayup-sayup tertangkap pendengarannya. Santosa sontak bergeming, menghentikan tingkah linglungnya sesaat untuk menangkap suara lebih jelas.
Suara itu mendadak hilang. Namun, dari salah satu sudut matanya, Santosa mendapari sebuah pergerakan dari rerimbunan ilalang di salah satu sisi jalan. Punggung Santosa refleks menegak. Matanya dibelalakkan lebar-lebar agar dapat melihat lebih jelas. Santosa yakin jika bukan angin yang menyebabakan rimbun ilalang bergerak.
Tak perlu waktu lama, sosok yang dinanti segera menampakkan diri di hadapan Santosa. Sesosok makhluk mirip manusia merangkak keluar dari rapatnya ilalang dengan gerakan yang janggal. Sosok itu kurus. Tulang-belulangnya mencuat di beberapa sisi tubuh, sementara rambut hitam panjang yang kusut menjadi tirai penutup wajah. Sepasang lengannya maju lebih dulu, melewati jalanan berbatu dengan kerikil tajam tanpa sedikit pun terlihat terganggu. Sepasang lutunya menyeret tanah dengan gerakan patah-patah yang kelewat ganjil seolah terdapat tulang-belulangnya yang tidak berada dalam posisi normal. Sosok perempuan itu mengenakan gaun putih lusuh yang terlihat koyak di beberapa bagian.
Katerpanaan Santosa membuatnya telat menyadari jika sosok yang berasal dari semak-semak ini kini merangkak perlahan ke arahnya. Semakin dekat sosok itu semakin mengerikan dan Santosa akhirnya menyadari jika makhluk itu tidak terlihat seperti manusia. Santosa mulai gentar. Jantungnya mulai berpacu di atas normal saat jarak di antara makhluk itu dan dirinya kian terkikis.
"Si-siapa kau? Tolong, jangan ganggu aku," ucap Santosa lirih.
Makhluk itu mendadak berhenti, lalu dalam gerakan pelan yang mendebarkan, kepalanya berputar 360° hingga rambut hitam kusutnya tersibak. Seraut wajah pucat yang polos, tanpa mata, hidung, dan mulut, terlihat. Sedetik kemudian, sepasang mata yang keseluruhannya berwarna hitam muncul, menatap lekat ke arah Santosa. Disusul sebuah seringai yang terbit dari sepasang bibir penuh jahitan rapat yang baru muncul detik itu juga. Ujung benangnya yang tercerabut menjuntai di kedua sudut bibir. Sebuah desis melengking yang membangkitkan bulu roma lolos dari sana bersamaan dengan bau busuk dan amis darah yang menguar dari tubuhnya.
Santosa melolong ngeri sembari berusaha keras merapatkan kedua kelopak matanya. "Pergi kau! Enyah! Enyah!" Alih-alih berlari menjauh, Santosa malah bergeming, memeluk tubuh kakunya erat-erat. Sebagai dukun santet, Santosa tak pernah merasa setakut itu saat bertemu dengan setan.
"Mengapa kau takut padaku? Bukankah kita sama?" Suara serak sosok hantu perempuan memenuhi kehampaan tempat monokrom itu. Kepalanya meneleng, sementara sepasang mata tak lazimnya menatap lekat Santosa. Entah mengapa, setiap kata yang diucapkan makhluk itu secara ajaib membuat pelipis Santosa berdenyut nyeri.
Santosa menggeleng frustrasi. "Aku tidak sama denganmu, makhluk terkutuk!"
Makhluk itu terkekeh dengan suara serak nan dalam. Tubuh ringkihnya yang masih dalam posisi merangkak berguncang hingga rambutnya kembali jatuh menutupi sebelah mata. "Tidakkah kau melihat rupamu itu? Kita sama. Kita sama-sama pengelana tersesat."
Meski ketakutan, Santosa penasaran dengan ucapan makhluk itu. "Pe-pengelana? Apa maksudmu?"
Sosok itu terkekeh lagi sebagai jawaban, kemudian dengan pelan makhluk itu merangkak, sedikit demi sedikit kembali mengikis jarak di antara mereka. Santosa yang ketakutan refleks menempelkan punggungnya pada sebatang pohon yang berada tepat di belakangnya. Ketakutan membuatnya urung menggunakan logika untuk melarikan diri.
"Kita adalah para pengelana di dunia hitam putih ini. Sebuah dunia di antara kehidupan dan kematian. Jangan sampai tersesat atau kau akan ..." Sosok perempuan berambut panjang itu berhenti, lalu terbatuk hebat sembari menekan dadanya dengan telapak tangan. Wajahnya yang menyeramkan mengernyit seolah dapat merasakan sakit. Cairan kehitaman mengalir keluar dari salah satu sudut bibirnya, membawa serta untaian benang yang semula terjahit di bibir.
Demi melihat keadaan makhluk itu, rasa takut Santosa sedikit mereda. Perlahan ia berdiri di atas sepasang tungkainya yang masih gemetaran sembari berpegangan pada pohon. Matanya tetap mengawasi sosok yang menggeliat kesakitan itu.
"Atau apa?" tanyanya kemudian,, menantang saat lawannya justru berada di titik terlemah.
Untuk beberapa saat lamanya tak ada jawaban dari makhluk itu. Namun, perlahan-lahan, gerakan-gerakan liar dari tubuh kurus pucat yang meringkuk di atas tanah itu mereda. Barangkali, rasa sakit yang mendera dadanya telah hilang. Kedua lengan bersikut runcing itu perlahan mengangkat tubuh, sementara tungkainya bersimpuh. Sepasang mata yang keseluruhannya berwarna hitam itu menyorot tajam pada Santosa.
"Atau ... kau menjadi salah satu dari makhluk-makhluk yang tak akan pernah menemukan jalan pulang."
Santosa membelalak. Bibirnya mengatup erat. Entah mengapa, nada suara makhluk mengerikan itu seketika membuat bulu kuduknya meremang. Perlahan, Santosa menggeser kakinya mundur sambil menggeleng. "Ti-tidak. Aku harus segera kembali!" bantahnya.
Makhluk itu mengikik dalam suara tinggi yang menyayat pendengaran seolah yang baru saja diungkapkan Santosa hanyalah kelakar belaka. Namun, beberapa detik kemudian, tawanya berhenti, menyisakan deru angin yang mendadak bertiup pelan. "Satu-satunya jalan kembali adalah dengan mendatangi tempat-Nya. Berkumpul di padang-Nya sembari menanti hukuman dan pengampunan."
Lagi-lagi, makhluk itu mengikik dalam suara tinggi yang membuat sesuatu di dalam dada Santosa mendidih. Ia menggeleng cepat, berusaha menepis tawa penuh ejekan. Santosa tak mengerti yang mana yang lebih menyulut amarahnya, suara tawa atau ucapan yang tak begitu ia mengerti. Yang jelas, Santosa ingin makhluk itu enyah.
Dengan gusar, lelaki paruh baya itu menyisir sekitarnya. Sepasang netra kelamnya lantas menemukan sebilah patahan dahan kayu besar yang tergeletak tak jauh dari posisinya. Dengan gerakan cepat, ia meraih benda tersebut, kemudian membawanya ke arah makhluk mengerikan yang masih tertawa mengawasinya.
Dalam gerakan yang tak terduga dan penuh emosi, Santosa mengayunkan dahan kayu ke arah makhluk itu. Berulang kali, disasarnya sembari berteriak kalap.
Mulanya makhkuk itu hanya menggeram sembari menatapnya tajam. Nyatanya pukulan Santosa yang bertubi-tubi itu berhasil membuatnya lumpuh. Tubuh ringkih itu jatuh menelungkup lunglai di atas tanah, tanpa perlawanan.
Setelah noda hitam serupa serbuk dan cairan menguar dari telinga dan mulut sosok itu, Santosa baru menghentikan serangan. Napasnya memburu, seolah kemarahan dan kekalapannya telah menguras habis napas dan energi yang tersisa. Namun, mendadak lelaki paruh baya itu menarik sudut-sudut bibirnya. Tawa sumir yang nyaris tak terdengar mengalun dari celah bibirnya yang terbuka. Santosa tertawa, tetapi raut wajahnya justru terlihat frustrasi.
Santosa lantas melemparkan bilah dahan yang digunakannya untuk menghabisi makhluk itu ke sembarang arah. Setelah tawanya reda, ia berteriak hampa dan putus ada. Setelah memperturutkan amarah, tak ada yang tersisa selain penyesalan.
Santosa kembali mengedarkan pandangan gusar ke sekitar, takut jikalau makhluk mengerikan serupa muncul dari semak-semak monokrom di sepanjang jalan abu-abu tempatnya berdiri. Akan tetapi, tak ada apa pun yang terlihat sejauh mata memandang. Bahkan, desau angin yang tadinya bertiup samar-samar menghilang entah ke mana.
Santosa memutuskan untuk melanjutkan langkah ke mana pun asal terus bergerak. Padang penantian yang disebut makhluk mengerikan tadi terngiang di kepalanya, menjadi mantra yang ia rapal sepanjang langkah. Jika Padang itu adalah jalan kembali, maka ia harus menemukannya.