22.04 -
Bahasa,Budaya,Motivasi
No comments
Belajar Bahasa, Belajar Budaya
Oleh: Zuraida
Ini adalah catatan yang
tertinggal dari sekeping pengalaman hidup yang baru saja sempat aku tuliskan
dalam hal belajar berbahasa. Pada bulan September 2013 yang lalu, aku
mendapatkan sebuah kesempatan untuk menjadi penterjemah dalam salah satu proyek
yang diadakan oleh ACHMEA Belanda dengan salah satu rekannya analis konflik dan
ketahanan terhadap bencana-aku bingung menyebutkan istilah tepatnya dalam
bahasa Indonesia-namun, setidaknya begitulah profesi rekannya secara terminology.
Mereka berdua (Mr. Pieter dan Ms. Melanie) datang ke Kalimantan Barat untuk
sebuah observasi awal salah satu lembaga keuangan yang cukup besar pangsa
pasarnya di Kalimantan Barat. Lembaga mereka akan memberikan bantuan kepada
lembaga keuangan tersebut sehingga mereka memerlukan studi awal mengenai
kemungkinan dan efektivitasnya, kira-kira begitu. Mereka menghabiskan waktu
semingggu di Kalimantan Barat, dua hari di Sintang dan sisanya di Pontianak. Kebetulan
aku berkesempatan menemani observasi mereka dua kali di Pontianak untuk dua
lembaga keuangan sejenis yang sedang mereka pelajari.
aku dan Melanie....
Peranku di situ adalah
sebagai seorang penterjemah. Sebelumnya, aku sudah pernah menterjemahkan
sebanyak dua kali, tapi tidak pernah melakukannya seorang diri. Jadi, ini
adalah kesempatan pertamaku menterjemahkan seorang diri. Pertemuan pertama
antara aku, Mr. Pieter dan Ms. Melanie berlangsung di salah satu hotel bintang
tiga di Pontianak. Pertemuan pertama kami membahas tentang peranku di sana dan
sedikit banyak mengenai tema yang akan mereka bahas dengan kedua lembaga
keuangan yang akan mereka temui. Aku mendapat gambaran yang lumayan jelas saat
itu untuk membuatku mempersiapkan diri. Setidaknya tema yang akan mereka bahas
adalah tentang ekonomi, koperasi dan lembaga keuangan.
Awalnya aku sangat
antusias. Setelah pertemuan pertama kami tersebut, aku memiliki waktu dua hari
untuk mempersiapkan diri karena dua hari itu mereka memiliki agenda ke Sintang.
Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari sebanyak mungkin informasi penting
mengenai perusahaan mereka di internet. Aku mempelajari sejarahnya serta
karakteristik di bidang apa perusahaan mereka bekerja hingga aku bias memahami
secara umum tujuan mereka melakukan observasi awal di Kalimantan. Bagiku, ini
akan membantuku memahami perspektif mereka dan akan membantu saat aku
menterjemahkan untuk orang-orang dari lembaga keuangan di Pontianak yang akan
mereka temui. Kedua, yang kulakukan adalah membaca sebanyak mungkin artikel
berbahasa inggris terkait dengan isu-isu seputar ekonomi, koperasi dan lembaga
keuangan. Hal ini akan membantuku menjadi lebih familier dengan kemungkinan
istilah-istilah yang akan mereka gunakan nanti. Ketiga, aku mencari informasi
sebanyak-banyaknya mengenai lembaga keuangan di Pontianak yang akan mereka
observasi, thanks God, lembaga
keuangan itu memiliki website untuk informasi-informasi mereka. Saat itu, aku
sudah merasa siap.
aku dan Pieter......
Tekanan semakin besar
pada hari H. Aku kembali bertemu Pieter, Melanie dan orang-orang dari lembaga
keuangan yang akan mereka observasi. Ini adalah yang pertama kalinya dan aku
ingin melakukannya dengan sebaik mungkin. Namun, justru perasaan tertekan itu
membuatku menjadi tidak focus dan kehilangan konsentrasi—konsentrasi adalah
yang terpenting pada saat oral translation—ingat
itu. Pertemuan pertamaku tidak begitu berjalan mulus, aku kesulitan mengenali
beberapa istilah spesifik, dalam hal ini kamus dan istilah terminology kurang
membantu. Belakangan setelah kuliah, aku baru sadar bahwa sociolinguistics itu sangat penting dalam proses penterjemahan
langsung maupun tidak langsung. Upayaku mengumpulkan informasi mengenai
perusahaan Pieter dan Melanie dan lembaga keuangan yang mereka teliti pada saat
itu benar-benar sangat membantu. Hal tersebut memberiku cukup informasi dan
pengalaman dalam menterjemahkan. Hari kedua berjalan jauh lebih baik dan lebih lancer
karena aku telah lumayan terbiasa dan memiliki cukup banyak informasi yang
kubutuhkan untuk menterjemahkan, tidak hanya kosakata yang aku temui di kamus.
Satu hikmah terpenting
yang dapat aku pelajari dari pengalaman tersebut adalah berbahasa itu sangat
erat sekali hubungannya dengan berbudaya. Memahami bahasa tidak hanya tentang
arti setiap kata yang bias kita lihat di kamus atau memiliki makna terminology.
Namun bahasa itu lebih rumit dari itu. Jika kita tak dapat menemukan makna terminology
yang membuat kita paham mengenai sebuah kata, maka kita dapat memahaminya
melalui kumpulan pengalaman dan informasi yang telah ada sebelumnya di dalam
lingkungan dimana bahasa tersebut digunakan—dan aku mengartikannya sebagai
budaya. Berbahasa yang baik itu sekaligus berbudaya, mengucapkannya kemudian
melakukannya, karena bahasa itu sendiri adalah produk budaya. Maka, jangan menjadi
terlalu khawatir ketika kita mempelajari budaya asing dan terkontaminasi
budayanya, karena demikianlah seharusnya…belajar bahasanya dan pelajari juga
budayanya, maka kita dapat berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut dengan
baik.
Pontianak, 19 Oktober 2013
0 komentar:
Posting Komentar