Jumat, 12 Februari 2021

After The Death Chapter 2

Santosa merasa dirinya telah tertidur begitu lama saat kesadaran perlahan-lahan terkumpul. Kesadaran itu mulanya berasal dari kepala, lambat laun merambat turun menuju ke rongga dada hingga mencapai sepasang tungkainya. Tubuh Santosa terasa ringan saat lelaki paruh baya itu menggeliat, merasakan setiap anggota tubuhnya berderak dan merenggang. Samar-samar rasa sakit akibat tusukan di beberapa bagian tubuhnya berkedut mengingatkannya pada kejadian yang baru saja menimpanya.

Alih-alih mendapatkan ketenangan dari kebangkitannya, Santosa justru dihadapkan pada mimpi buruk lain. Setelah kelopak matanya terbuka sempurna, pemandangan ganjil justru terpampang, hingga membuat lelaki paruh baya itu mengerjap selama bermenit-menit penuh tanda tanya. Segala sesuatu di sekitarnya terlihat bernuansa monokrom; hitam, putih, abu-abu dengan gradasi warna yang berbeda-beda. Tidak ada warna lainnya. Pun tidak ada suara yang tertangkap pendengarannya kala itu. Santosa merasa dirinya bagaikan terjebak di dalam televisi besar yang seringkali disaksikannya di balai desa saat menonton acara layar tancap. 

Sejauh mata memandang, Santosa tak menemukan satu makhluk pun selain dirinya yang tengah duduk bernaung di bawah satu-satunya pohon besar berwarna abu-abu tua yang tumbuh di tempat itu. Santosa mengerang saat merasakan luka di bahunya yang berdenyut kala ia menggeser tubuh. Rupanya kejadian mengerikan semalam bukanlah mimpi. Para ninja benar-benar menyerangnya dengan brutal. Namun, anehnya, Santosa tidak mati atau setidaknya ia pikir ia belum mati. T

Asumsi yang berkecamuk di dalam kepala Santosa lantas mendorongnya untuk menunduk dan mengamati luka-luka di sekujur tubuhnya yang menggelap kehitaman. Sisa-sisa darah yang menempel pada baju lusuhnya pun berwarna serupa, alih-alih merah. Bau anyir darah yang tercium samar-samar dan bias cahaya yang membuat luka itu tampak berkilat, meyakinkan Santosa jika lukanya belum kering. Akan tetapi, mengapa segala sesuatunya terlihat hitam putih tanpa warna? Apakah matanya bermasalah?

Dengan jari-jemarinya yang gemetaran, Santosa meraba kelopak matanya, mencari luka atau memar yang mungkin meninggalkan jejak. Setelah tak menemukan luka, ia lantas mengedipkan mata beberapa kali, berharap agar pandangannya dapat kembali seperti semula. Namun, bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, yang lelaki itu lakukan hanyalah kesia-siaan belaka. Pemandangan di hadapannya tak juga berubah.

Santosa mulai frustrasi. Ia mencengkeram rambut pendeknya yang berantakan, kemudian menarik-nariknya serupa orang linglung. Sepasang tungkainya menendang tanah dengan kasar dan tak tentu arah. 

Tiba-tiba, suara rintihan lirih sayup-sayup tertangkap pendengarannya. Santosa sontak bergeming, menghentikan tingkah linglungnya sesaat untuk menangkap suara lebih jelas.

Suara itu mendadak hilang. Namun, dari salah satu sudut matanya, Santosa mendapari sebuah pergerakan dari rerimbunan ilalang di salah satu sisi jalan. Punggung Santosa refleks menegak. Matanya dibelalakkan lebar-lebar agar dapat melihat lebih jelas. Santosa yakin jika bukan angin yang menyebabakan rimbun ilalang bergerak. 

Tak perlu waktu lama, sosok yang dinanti segera menampakkan diri di hadapan Santosa. Sesosok makhluk mirip manusia merangkak keluar dari rapatnya ilalang dengan gerakan yang janggal. Sosok itu kurus. Tulang-belulangnya mencuat di beberapa sisi tubuh, sementara rambut hitam panjang yang kusut menjadi tirai penutup wajah. Sepasang lengannya maju lebih dulu, melewati jalanan berbatu dengan kerikil tajam tanpa sedikit pun terlihat terganggu. Sepasang lutunya menyeret tanah dengan gerakan patah-patah yang kelewat ganjil seolah terdapat tulang-belulangnya yang tidak berada dalam posisi normal. Sosok perempuan itu mengenakan gaun putih lusuh yang terlihat koyak di beberapa bagian.

Katerpanaan Santosa membuatnya telat menyadari jika sosok yang berasal dari semak-semak ini kini merangkak perlahan ke arahnya. Semakin dekat sosok itu semakin mengerikan dan Santosa akhirnya menyadari jika makhluk itu tidak terlihat seperti manusia. Santosa mulai gentar. Jantungnya mulai berpacu di atas normal saat jarak di antara makhluk itu dan dirinya kian terkikis. 

"Si-siapa kau? Tolong, jangan ganggu aku," ucap Santosa lirih.

Makhluk itu mendadak berhenti, lalu dalam gerakan pelan yang mendebarkan, kepalanya berputar 360° hingga rambut hitam kusutnya tersibak. Seraut wajah pucat yang polos, tanpa mata, hidung, dan mulut, terlihat. Sedetik kemudian, sepasang mata yang keseluruhannya berwarna hitam muncul, menatap lekat ke arah Santosa. Disusul sebuah seringai yang terbit dari sepasang bibir penuh jahitan rapat yang baru muncul detik itu juga. Ujung benangnya yang tercerabut menjuntai di kedua sudut bibir. Sebuah desis melengking yang membangkitkan bulu roma lolos dari sana bersamaan dengan bau busuk dan amis darah yang menguar dari tubuhnya. 

Santosa melolong ngeri sembari berusaha keras merapatkan kedua kelopak matanya. "Pergi kau! Enyah! Enyah!" Alih-alih berlari menjauh, Santosa malah bergeming, memeluk tubuh kakunya erat-erat. Sebagai dukun santet, Santosa tak pernah merasa setakut itu saat bertemu dengan setan.

"Mengapa kau takut padaku? Bukankah kita sama?" Suara serak sosok hantu perempuan memenuhi kehampaan tempat monokrom itu. Kepalanya meneleng, sementara sepasang mata tak lazimnya menatap lekat Santosa. Entah mengapa, setiap kata yang diucapkan makhluk itu secara ajaib membuat pelipis Santosa berdenyut nyeri.

Santosa menggeleng frustrasi. "Aku tidak sama denganmu, makhluk terkutuk!"

Makhluk itu terkekeh dengan suara serak nan dalam. Tubuh ringkihnya yang masih dalam posisi merangkak berguncang hingga rambutnya kembali jatuh menutupi sebelah mata. "Tidakkah kau melihat rupamu itu? Kita sama. Kita sama-sama pengelana tersesat."

Meski ketakutan, Santosa penasaran dengan ucapan makhluk itu. "Pe-pengelana? Apa maksudmu?"

Sosok itu terkekeh lagi sebagai jawaban, kemudian dengan pelan makhluk itu merangkak, sedikit demi sedikit kembali mengikis jarak di antara mereka. Santosa yang ketakutan refleks menempelkan punggungnya pada sebatang pohon yang berada tepat di belakangnya. Ketakutan membuatnya urung menggunakan logika untuk melarikan diri.

"Kita adalah para pengelana di dunia hitam putih ini. Sebuah dunia di antara kehidupan dan kematian. Jangan sampai tersesat atau kau akan ..." Sosok perempuan berambut panjang itu berhenti, lalu terbatuk hebat sembari menekan dadanya dengan telapak tangan. Wajahnya yang menyeramkan mengernyit seolah dapat merasakan sakit. Cairan kehitaman mengalir keluar dari salah satu sudut bibirnya, membawa serta untaian benang yang semula terjahit di bibir.

Demi melihat keadaan makhluk itu, rasa takut Santosa sedikit mereda. Perlahan ia berdiri di atas sepasang tungkainya yang masih gemetaran sembari berpegangan pada pohon. Matanya tetap mengawasi sosok yang menggeliat kesakitan itu. 
"Atau apa?" tanyanya kemudian,, menantang saat lawannya justru berada di titik terlemah.

Untuk beberapa saat lamanya tak ada jawaban dari makhluk itu. Namun, perlahan-lahan, gerakan-gerakan liar dari tubuh kurus pucat yang meringkuk di atas tanah itu mereda. Barangkali, rasa sakit yang mendera dadanya telah hilang. Kedua lengan bersikut runcing itu perlahan mengangkat tubuh, sementara tungkainya bersimpuh. Sepasang mata yang keseluruhannya berwarna hitam itu menyorot tajam pada Santosa. 

"Atau ... kau menjadi salah satu dari makhluk-makhluk yang tak akan pernah menemukan jalan pulang."

Santosa membelalak. Bibirnya mengatup erat. Entah mengapa, nada suara makhluk mengerikan itu seketika membuat bulu kuduknya meremang. Perlahan, Santosa menggeser kakinya mundur sambil menggeleng. "Ti-tidak. Aku harus segera kembali!" bantahnya.

Makhluk itu mengikik dalam suara tinggi yang menyayat pendengaran seolah yang baru saja diungkapkan Santosa hanyalah kelakar belaka. Namun, beberapa detik kemudian, tawanya berhenti, menyisakan deru angin yang mendadak bertiup pelan. "Satu-satunya jalan kembali adalah dengan mendatangi tempat-Nya. Berkumpul di padang-Nya sembari menanti hukuman dan pengampunan."

Lagi-lagi, makhluk itu mengikik dalam suara tinggi yang membuat sesuatu di dalam dada Santosa mendidih. Ia menggeleng cepat, berusaha menepis tawa penuh ejekan. Santosa tak mengerti yang mana yang lebih menyulut amarahnya, suara tawa atau ucapan yang tak begitu ia mengerti. Yang jelas, Santosa ingin makhluk itu enyah. 

Dengan gusar, lelaki paruh baya itu menyisir sekitarnya. Sepasang netra kelamnya lantas menemukan sebilah patahan dahan kayu besar yang tergeletak tak jauh dari posisinya. Dengan gerakan cepat, ia meraih benda tersebut, kemudian membawanya ke arah makhluk mengerikan yang masih tertawa mengawasinya. 

Dalam gerakan yang tak terduga dan penuh emosi, Santosa mengayunkan dahan kayu ke arah makhluk itu. Berulang kali, disasarnya sembari berteriak kalap. 

Mulanya makhkuk itu hanya menggeram sembari menatapnya tajam. Nyatanya pukulan Santosa yang bertubi-tubi itu berhasil membuatnya lumpuh. Tubuh ringkih itu jatuh menelungkup lunglai di atas tanah, tanpa perlawanan. 

Setelah noda hitam serupa serbuk dan cairan menguar dari telinga dan mulut sosok itu, Santosa baru menghentikan serangan. Napasnya memburu, seolah kemarahan dan kekalapannya telah menguras habis napas dan energi yang tersisa. Namun, mendadak lelaki paruh baya itu menarik sudut-sudut bibirnya. Tawa sumir yang nyaris tak terdengar mengalun dari celah bibirnya yang terbuka. Santosa tertawa, tetapi raut wajahnya justru terlihat frustrasi. 

Santosa lantas melemparkan bilah dahan yang digunakannya untuk menghabisi makhluk itu ke sembarang arah. Setelah tawanya reda, ia berteriak hampa dan putus ada. Setelah memperturutkan amarah, tak ada yang tersisa selain penyesalan.

Santosa kembali mengedarkan pandangan gusar ke sekitar, takut jikalau makhluk mengerikan serupa muncul dari semak-semak monokrom di sepanjang jalan abu-abu tempatnya berdiri. Akan tetapi, tak ada apa pun yang terlihat sejauh mata memandang. Bahkan, desau angin yang tadinya bertiup samar-samar menghilang entah ke mana. 

Santosa memutuskan untuk melanjutkan langkah ke mana pun asal terus bergerak. Padang penantian yang disebut makhluk mengerikan tadi terngiang di kepalanya, menjadi mantra yang ia rapal sepanjang langkah. Jika Padang itu adalah jalan kembali, maka ia harus menemukannya.


Kamis, 11 Februari 2021

After the Death Chapter 1

Banyuwangi, tahun 1998.

Seorang lelaki paruh baya dengan blangkon melingkar di kepala berdiri gusar sembari mengintip keluar jendela bertirai hitam. Cahaya kilat yang membelah langit menyelinap dari sedikit celah tirai yang terbuka, menjadi satu-satunya penerangan di dalam ruangan yang keseluruhannya gelap. Sementara, deru angin yang berembus dari ventilasi dan celah jendela meniup liar tirai hitam serta anak-anak rambut abu-abu yang menyembul dari celah blangkon lelaki itu. Matanya menatap nyalang pada kegelapan di halaman rumah seolah sedang memantau pergerakan tak kasatmata di balik hujan.

Lelaki paruh baya bernama Santosa itu lantas melirik gagang pintu, pada anak-anak kunci yang beradu liar akibat tertiup angin. Suara dentingnya terdengar bagai lonceng pemanggil arwah yang sering ia gunakan pada beberapa ritual santetnya. Harusnya Santosa terbiasa dengan bebunyian itu, tetapi entah mengapa malam ini segala sesuatu yang mengingatkannya pada profesinya menjadi teramat menakutkan. Dengan tangan gemetar, Santosa meraih gagang pintu, dan untuk yang ke sekian kalinya kembali memeriksa anak kunci. Pintu itu masih terkunci seperti bermenit-menit yang lalu. Namun, agaknya Santosa tak juga merasa puas dan aman. Ia lalu memeriksa pengait pintu atas dan bawah, kembali memastikan jika benda tersebut masih di posisi semula. 

Setelah melewati bermenit-menit meragu, Santosa akhirnya mengembuskan napas panjang. Bukan kelegaan, melainkan sebuah keterpaksaan. Ia menjauhi jendela dengan langkah terseok. Akan tetapi, belum seberapa berjarak, lelaki paruh baya itu kembali menoleh. Mata yang dibingkai kelopak keriput itu kembali mengawasi bayang-bayang gelap di luar jendela yang silang sengkarut membentuk sesosok monster besar berwujud mengerikan dengan tangan banyak yang menghantuinya dari luar rumah. Ranting-ranting pepohonan yang ujung-ujungnya runcing itu bergerak liar akibat embusan angin seumpama cakar gergasi yang siap untuk mencengkeram. Santosa refleks mundur beberapa langkah saat imajinasi dalam kepalanya mulai terasa menjadi nyata dan seolah bergerak ke arahnya.

Tepat saat kilat menyambar disertai gemuruh yang menggelegar, Santosa memekik ketakutan. Tungkainya lemas bersamaan dengan keberaniannya yang sontak sirna. Ia jatuh terduduk seraya memeluk lutut di atas lantai kayu rumahnya. Ia takut jika ninja-ninja itu akan mendatanginya, mencabut nyawanya seperti mereka mencabut nyawa Parjo, Parmin, dan rekan seprofesinya yang lain. Sejak beberapa hari lalu, Santosa seolah telah mendapat firasat bahwa hari akhirnya akan segera tiba. Parjo dibacok sesosok ninja di rumahnya beserta anak dan istrinya, sementara Parmin dibunuh beramai-ramai saat sedang berada di pasar pada siang bolong. Dukun-dukun dan orang pintar lainnya juga mendapat kematian yang tak kalah mengenaskan. Andai saja Santosa bisa memperoleh sedikit saja rambut atau kuku dari tubuh para ninja, maka sudah barang tentu ia tak akan sekalut ini. Bayangan kematian rekan-rekannya sesama dukun santet kembali berkelebat dalam ingatan, silih berganti hingga membuat Santosa nyaris saja memuntahkan makan malamnya. 

Dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian dan tenaga yang dimiliki, Santosa berusaha menopang tubuhnya berdiri. Asam urat yang kambuh sejak semalam cukup menyulitkan pergerakannya, sehingga ia harus beringsut dengan sebelah tangan yang bertumpu pada dinding. Ia menyeret tubuhnya menuju kamar untuk bersembunyi.

Tiba-tiba bunyi gesekan pada genting seng terdengar samar-samar dari balik riuh tetes hujan. Tanpa alasan yang jelas, Susanto lantas merasakan bulu kuduknya meremang. Ia sontak mempercepat langkah sembari mengatur napasnya yang mulai memburu. Sementara, bunyi gesekan konstan itu akhirnya mereda, tetapi berakhir dengan sebuah dentuman nyaring yang menghantam lantai semen retak di bagian belakang rumahnya. 

Jantung Susanto nyaris berhenti. Tubuhnya menegang kaku. Ia sangat mengenal pertanda ini, melalui rekan-rekan sesama profesi, maupun gunjingan tetangga. Susanto memang tidak memiliki televisi, tetapi koran yang digilir setiap pagi di balai desa cukuplah menjadi sumber informasi mengenai adanya perburuan terhadap orang-orang sepertinya oleh para ninja. Pembahasan mengenai pertanda dan bagaimana ajal menjemput para dukun nahas itu telah benar-benar ia hafal. Listrik yang mendadak padam, bunyi genteng hingga lompatan merupakan pertanda datangnya para ninja di malam hari.

Susanto menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang refleks tercipta saat ia mengingat teror yang diceritakan orang-orang dan kemungkinan bahwa saat itu adalah gilirannya. Namun, semakin Susanto menolak, pikiran-pikiran itu agaknya terasa semakin nyata. Saat jari-jemarinya berhasil mencengkeram gagang pintu yang sedingin es, Susanto lantas mendengar bunyi derit yang melengking akibat tak pernah diminyaki. 

Akan tetapi, ketika ia melirik gagang pintu dalam cengkramannya, ia segera menyadari jika bukan dari gagang pintu kamarnya bunyi itu berasal, melainkan dari sebuah pintu lain di dalam rumahnya. Meninjau dari bunyi berdebum yang terdengar samar dari arah dapur, maka Santosa menyimpulkan jika bunyi itu berasal dari sana. 

Dengan jantung yang bertalu kencang, Santosa dengan cepat menekan daun pintu kamar, membukanya tanpa memedulikan derit yang mengiringinya. Melalui celah pintu yang tak terbuka sempurna, Santosa menyelinapkan tubuh kurusnya gelagapan, kemudian dengan panik mengunci diri di dalam kamar. 

Dari balik pintu kayu yang telah tertutup, Santosa menangis pilu dengan telapak tangan membekap mulut. Firasat dan dugaannya sedari tadi rupanya tidak salah. Para ninja pembunuh itu kini telah menyatroni rumahnya, dan hanya dalam hitungan menit atau lebih cepat, hidupnya akan segera berakhir.

Suara hantaman perabot yang terdengar di antara deru hujan dan gemuruh disertai langkah kaki yang kasar dan menghentak segera menyadarkan Santosa dari keterpurukannya. Para ninja telah menerobos masuk dan ia harus melakukan sesuatu untuk dapat bertahan hidup sedikit lebih lama. Tangis Santosa serta-merta berhenti. Bukankah ia merupakan salah satu dukun santet terkemuka di desanya? Bukankah nyawa orang-orang nahas yang berurusan dengan pelanggannya dengan mudah dapat ia renggut? Barangkali ia bisa bermain-main dengan mautnya sendiri pada detik-detik terakhir. 

Maka, di bawah temaram cahaya dan kilat yang berkelebat sesekali dari celah jendela, Santosa menguatkan langkah setelah memastikan pintu kamarnya terkunci. Ia berjalan mengitari kamar dengan tertatih sembari memperkirakan letak-letak perabot di dalam kamarnya. Setelah berhasil meraih besi sandaran tempat tidurnya yang berkarat dan dingin, dengan sekuat tenaga, Santosa lantas mendorongnya ke arah pintu. Suara kaki besi yang beradu dengan lantai kayu sudah pasti dapat menarik kedatangan para ninja, tetapi ia tak peduli. Setidaknya besi tua itu dapat mempersulit para ninja yang mencoba mendobrak kamarnya.

Perabot terakhir yang ia andalkan adalah lemari kayu di sisi lain kamar yang nyaris kosong melompong karena minimnya sandang yang dimiliki. Engselnya yang berderit sudah barang tentu menimbulkan kecurigaan para ninja. Lagi-lagi Santosa tidak peduli. Dengan sisa-sisa kewarasan terakhir ia masuk dan meringkuk di dalamnya bagai seorang pecundang yang kalah sebelum berperang. 

Tubuh Santosa kembali menggigil. Dengan frustrasi dipeluknya kedua tungkai yang gemetaran. Di saat bersamaan, sesuatu menghantam pintu kamarnya dengan keras.

"Keluar kau dukun sialan!" Suara parau teredam topeng itu jelas-jelas menantangnya. Mereka, para ninja telah berhasil menemukan keberadaannya.

Namun, Santosa tetap bergeming. Ia memeluk tubuhnya semakin erat seolah sedang mempertahankan nyawanya yang sebentar lagi melayang. Mulutnya komat-kamit merapal mantra tak jelas, berharap para jin, iblis, dan setan yang pernah bersekutu dengannya mendengar dan mau membantunya dengan cuma-cuma. Akan tetapi, seperti yang telah ia ketahui sejak dahulu kala, makhluk-makhluk itu adalah para pengkhianat. Mereka tak akan pernah menolong manusia tanpa imbalan setimpal, sementara saat ini Santosa tak memiliki apa pun selain seutas benang nyawa yang sedang ia pertahankan kuat-kuat.

Bunyi dobrakan kedua kembali terdengar, bersamaan dengan gemuruh yang menggelegar. Dalam sepersekian detik, pintu kamar Santosa hancur saat sepasang ninja berpakaian hitam-hitam dengan sebilah parang terhunus melompat masuk melewati ambang pintu yang dihalangi tempat tidur ringsek. Lemari tersebut telah bergeser ke sembarang arah. 

Sambaran kilat yang menerangi bilah parang tajam dalam genggaman salah satu ninja tanpa sengaja tertangkap pandangan Santosa yang bersembunyi di dalam lemari hingga sontak membuatnya refles melolongkan tangis tertahan. Kecerobohan dan ketakutan sang dukun yang berlebihan akhirnya membuat kedua ninja berhasil menemukan keberadaannya tanpa upaya. 

Suara kekehan samar terdengar dari salah satu ninja yang terlebih dahulu berjalan mendekati lemari. Langkah kakinya yang kasar dilakukan sepelan mungkin untuk memberikan efek ketegangan maksimal pada Santosa yang menanti di dalam persembunyian. 

"Santosa ... dukun ke-74," gumam sang ninja setelah tawanya lenyap. 

Santosa semakin kuat merapal mantra. Tubuhnya menciut di sudut lemari. Bukan tanpa alasan sang ninja mengenalinya. Santosa tahu, begitu pula seluruh dukun dan orang pintar yang namanya telah tercatat dalam radiogram. Namun, berdasarkan kabar dari mulut ke mulut yang akhirnya singgah ke telinga Santosa beberapa hari lalu, radiogram yang bertujuan melindungi mereka dari para ninja itu dinyatakan hilang dan rupanya telah jatuh ke tangan para ninja itu sendiri.

"Pe-pergi ..." lirih Santosa di sela-sela tangis ketakutannya. 

"Bersiaplah menerima pembalasan, Santosa!" 

Pintu lemari tua di hadapan Santosa mendadak didobrak. Sesosok ninja terlihat berdiri di baliknya dengan parang besar nan tajam terhunus. Beberapa langkah di belakang sosok itu, ninja lain berdiri mengawasi dengan posisi parang yang sama siaganya, berkilat diterpa cahaya yang hilang datang dari celah-celah jendela kamar. 

Dengan gemetaran, Santosa mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata. Ia ingin melihat rupa para ninja yang telah membantai rekan-rekannya, dan sebentar lagi barangkali akan mencabut nyawanya juga. Mulutnya masih komat-kamit tak menentu, meski bukan lagi mantra yang terucap. Tubuhnya kaku, bahkan tak bisa beringsut sedikit pun dari posisinya untuk menghindar. 

"Setan, kalian!" Santosa mengumpat berang, tepat sebelum bilah parang sang ninja terangkat tinggi ke udara dan menghantam sebelah bahunya dengan sekali sabetan. 

Santosa menjerit pilu, sementara di luar, hujan semakin deras hingga menyamarkan teriakannya dari para tetangga. Darah memercik menjejak pada dinding lemari. Santosa belum mati. Namun, keadaan itu tak berlangsung lama. Bilah parang yang tajam dan dingin kembali mencabik tubuhnya hingga Santosa jatuh berguling ke luar lemari dan menghantam lantai kamar. Darah mengalir deras dari luka-lukanya yang menganga hingga menggenang di sekitar tubuh disertai bau anyir yang perlahan menguar hingga mencemari penghidunya. 

Santosa sekarat. Napasnya tinggal satu-satu, sementara tubuhnya didera nyeri. Akan tetapi, penderitaannya belum juga berakhir. Salah satu ninja yang hanya mengawasi sedari tadi lantas merangsek maju dengan membawa sebuah karung beras yang dibuka lebar. Dengan gerakan kasar dan gegas, sosok itu menendang tubuh tak berdaya Santosa untuk memaksanya masuk ke dalam karung. 

Santosa kembali menjerit seraya meronta-ronta dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Selain luka yang semakin menganga, ia juga merasakan beberapa tulang-belulang yang patah.

Pemberontakan Santosa lantas menyulut kemarahan sang ninja. Sosok bertopeng dan berpakaian serba hitam itu menghantamkan gagang parang ke atas kepalanya. 

Santosa terhuyung, setengah sadar saat tusukan demi tusukan kemudian menghujani beberapa bagian tubuhnya. Sungguh, Santosa tak pernah mengira jika nyawanya akan tercabut dengan cara yang sangat mengenaskan sekaligus menyakitkan seperti itu. Beberapa detik berikutnya, saat hujan perlahan mereda, kesadaran Santosa pun lambat-laun menghilang berganti pekat yang hampa. 


After The Death

Pada tanggal 09 Februari 2021 Alhamdulillah novel solo pertama saya yang bergenre horror dengan sub-genre fantasi dan spiritual akhirnya resmi open order. Tidak terbayang betapa senangnya perasaan saya karena perjuangan konsisten menulis selama dua tahun akhirnya membuahkan karya yang dapat dipeluk dan terdaftar. 

Naskah After the Death sendiri merupakan hasil tantangan menulis selama 30 hari yang diadakan oleh Penerbit Sinar Pena Amala batch 4, setelah sebelumnya melewati seleksi sinopsis dan kurasi chapter pertama. Satu hal yang sangat istimewa dari penulisan kisah ini adalah perjuangan saya melawan efek hamil muda yang begitu menguras energi dan mempengaruhi mood. Namun, setiap kali dorongan untuk menyerah mampir di benak saya, sekali lagi saya selalu bangkit dengan berkata kepada diri saya sendiri bahwa "saya bisa dan saya sudah sejauh ini, oleh karena itu saya harus menyelesaikannya." Alhamdulillah si dedek bayi di dalam perut seolah memberi dukungan kepada namanya untuk tidak menyerah dalam menulis. Akhirnya dengan susah oayah dan diwarnai drama masuk angin dan muntah-muntah, saya berhasil menyelesaikan cerita ini. 

After the Death itu bercerita tentang apa sih? 

Dari genre sendiri, naskah ini merupakan naskah horor. Namun, tidak seperti cerita horor pada umumnya, naskah ini menambahkan bumbu fantasi dan sentuhan spiritual. Naskah ini mengisahkan tentang Santosa seorang dukun santet dari Banyuwangi yang diserang para ninja pada suatu malam. Setelah peristiwa itu, Santosa lantas terbangun dalam sebuah dunia antah berantah yang keseluruhannya berwarna monokrom dan dihuni oleh makhluk-makhkuk penasaran yang mirip mayat hidup.

Kalau kamu tertarik untuk menyimak cerita Santosa, After the Death masih bisa banget dipesan karena masih dalam periode open order.