Sabtu, 16 Juli 2011

PERAN MEDIASI KONFLIK DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Oleh: Zuraida

Mediasi merupakan bentuk intervensi penyelesaian konflik dalam masyarakat yang membutuhkan kehadiran pihak ketiga sebagai penengah. Hal ini dikarenakan terkadang setiap orang, tim, komunitas, kelompok, atau bahkan bangsa dan negara sekalipun sulit untuk menyelesaikan konflik sendiri. Salah satu faktornya adalah adanya banyak perbedaan yang tajam, emosi, sejarah, status, ketidakadilan, kekuatan, politik kekuasaan, dan lain-lain sehingga membutuhkan bantuan untuk mengakhiri sebuah pertikaian. Bantuan pihak ketiga ini tidak dapat secara langsung dilakukan, banyak persyaratan yang harus dilakukan mencakup otoritas, kewenangan, kapabilitas, kredibilitas, dan integritas disamping jenis permasalahan yang diperselisihkan. Banyak hal yang perlu kita pertimbangkan ketika kita memilih jalur mediasi sebagai cara untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi.
Mediasi pertama kali muncul dan dipraktekkan di Amerika sebagai akibat dari menumpuknya kasus sengketa atau konflik yang harus diselesaikan di pengadilan. Akibat menumpuknya kasus tersebut kerja pengadilan untuk menyelesaikan konflik atau sengketa sosial kemasyarakatan menjadi lambat. Sehingga diperlukan alternatif penyelesaian konflik lainnya yang disebut mediasi.
Mediasi terbilang produk alternatif penyelesaian sengketa yang baru, sehingga perlu melakukan banyak sosialisai dan informasi untuk memperkenalkannya pada masyarakat. Meski demikian, mediasi menawarkan sesuatu yang baru yang tak didapatkan pada penyelesaian konflik dengan arbitrase dan litigasi. Mediasi menawarkan win win solution bagi pihak-piak yang berkonflik. Dengan demikian tak akan ada yang dirugikan dalam upaya penyelesaian konflik.
Pengertian Umum Tentang Konflik (General Overview of Conflict)
Konflik berasal dari kata kerja bahasa latin configere yang memiliki arti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (atau kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. (www.wikipedia.com)
Sementara itu secara terminologi, Lewis A. Coser mengartikan konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, terutama masyarakat yang heterogen, dengan berbagai etnis, suku, bangsa, latar belakang kebudayaan, pendidikan dan lain sebagainya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, konflik adalah sebuah keniscayaan dalam setiap masyarakat.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Dalam upaya merubah konflik menjadi integrasi dapat dilakukan dengan melakukan transformasi konflik yaitu merubah konflik menjadi sesuatu yang positif. Namun, terkadang transformasi konflik akan membutuhkan waktu yang lama dan proses yang panjang. Dengan demikian, alternatif lain dalam menyikapi konflik adalah dengan resolusi konflik yang dapat dilakukan dengan opsi resolusi dengan oleh diri sendiri (self), dengan orang lain (with others) dan oleh orang lain (by others).
Opsi resolusi konflik oleh diri sendiri (self) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu denial dan self-help. Sementara penyelesaian konflik bersama orang lain (with others) dapat dilakukan dengan cara negotiation dan mediation. Sedangkan penyelesaian konflik dengan orang lain (by others) dapat dilakukan dengan metode arbitration dan ligitation.


Mediasi Konflik sebagai Alternative Despute Resolution (ADR)
Dalam UU No 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa, mediasi merupakan kelanjutan negosiasi dan dilaksanakan jika proses negosiasi telah gagal. Sebagaimana diketahui, Pasal 6 ayat (2) UU No 30 Tahun 1999 menyebutkan: ”Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternative penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung (negosiasi) oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis”. Dalam ayat (3) nya secara jelas disebutkan bahwa: ”Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator”.
Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai ”kendaraan” untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Dari definisi tersebut, mediator dianggap sebagai ”kendaraan” bagi para pihak untuk berkomunikasi. Mediator tidak akan ikut campur dalam menghasilkan putusan. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa putusan yang dihasilkan melalui mediasi akan permanen dan menyenangkan pihak-pihak yang telah mengakhiri sengketa.
            Dalam praktek, sebagai bagian dari proses mediasi, mediator berbicara secara tertutup masing-masing pihak. Di sini mediator perlu membangun kepercayaan para pihak yang bersengketa lebih dahulu. Banyak cara yang dapat dilakukan mediator untuk menanamkan kepercayaan, misalnya dengan memperkenalkan diri melakukan penelusuran kesamaan dengan para pihak. Kesamaan tersebut mungkin dari segi hubungan kekeluargaan, pendidikan, agama, profesi, hobi, dan apa saja yang dirasakan dapat memperdekat jarak dengan para pihak yang bersangkutan.
            Cara praktek itu tampaknya kemudian dituangkan dalam Perma No 01/ 2008. Pasal 9 ayat (3): ”Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus”. Pengertian kaukus disebutkan dalam Pasal 1 butir (4), yaitu: ”...pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya. ”Pembicaraan atau diskusi-diskusi tersebut dilakukan tanpa adanya prasangka. Semua harus terbuka dan tanpa tipu muslihat.
            Berdasarkan uraian di atas, mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara ”pribadi” dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak yang netral tersebut tugas pertamanya adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi.[1]
            Yang menarik adalah pengertian lain dari mediasi, yaitu: ”... the intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party who has limited or no authoritative decision-making power but who assists the involved parties in voluntarily reaching a mutually acceptable seltment of issues in dispute”. Definisi tersebut menegaskan hubungan antara mediasi dan negosiasi, yaitu mediasi adalah sebuah intervensi terhadap proses negosiasi yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, yang membantu para pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian sengketa yang diterima kedua belah pihak.
            Jadi, mediator seharusnya tetap bersikap netral, selalu membina hubungan baik berbicara dengan bahasa para pihak, mendengarkan secara aktif, menekankan pada keuntungan potensial, meminimalkan perbedaan-perbedaan, dan menitikberatkan persamaan. Tujuannya adalah membantu para pihak bernegosiasi secara lebih baik atas suatu penyelesaian. Mediator tidak akan mempengaruhi salah satu pihak untuk menggoalkan cita-cita pihak yang lain. Kemudian harus dijelaskan pula bahwa mediator mampu merahasiakan sengketa pihak-pihak yang sedang dihadapi. Hal ini penting agar para pihak tidak sungkan dalam mengemukakan akar perselisihan dan menemukan jalan keluar.
Peran Mediasi Konflik dalam Membangun Masyarakat Multikultural
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat multikultural. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Parsudi Suparlan (2002) bahwa ‘masyarakat multikultural Indonesia’ (Indonesian multicultural society) adalah masyarakat yang majemuk (plural society) dimana corak masyarakat Indonesia yang ‘bhineka tunggal ika’ tidak hanya sebatas keanekaragaman kelompok etnis atau suku bangsa, agama dan budaya, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, multikulturalisme terkait dengan pengertian, penerimaan, dan penghargaan terhadap segala perbedaan dengan egaliter baik individu maupun kelompok  yang berkaitan dengan pendapata, ide, bahasa, adat istiadat dan kebiasaan orang atau kelompok lainnya.
Namun, telah diungkapkan pula pada bagian sebelumnya bahwa salah satu karakter masyarakat multikultural adalah kerentanannya terhadap konflik. Kerentanan ini bukanlah sesuatu yang harus diresahkan, karena sesungguhnya potensi konflik tersebut dapat diminimalisir atau dirubah menjadi sesuatu yang positif.
Salah satu upaya resolusi konflik yang penulis nilai paling efektif adalah dengan menggunakan mediasi konflik, yang mana keunggulannya adalah menawarkan win-win solution dalam konlik yang dihadapi yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam masyarakat multikultural yang tidak sepenuhnya menjiwai nilai-nilai multikulturalisme, ditandai dengan belum dapat menerima dan hidup dalam suasana yang egaliter, mediasi menawarkan resolusi yang penuh toleransi dan penghargaan terhadap orang lain. Hal ini secara simbolis tergambar dari fungsi mediator sebagai pendengar dan mengarahkan masing-masing pihak yang berkonflik untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dengan tawaran yang akan saling menguntungkan kedua belah pihak.
Hakikatnya, mediasi berfungsi sebagai mendefinisikan problem (scoping mediation), menyelesaikan sengketa (dispute settlement mediation), mengelola konflik (conflict containtment mediation), menegosiasikan kontrak (transactional mediation), merumuskan kebijakan (policy-making mediation) dan mencegah konflik (preventive mediation). Dari fungsi-fungsi mediasi di atas dapat kita lihat bahwa dengan mediasi yang dibiasakan pada masyarakat multikultural akan dapat mengurangi dampak dari potensi konflik yang merupakan salah satu karakter masyarakat multikultural. Dengan fungsi-fungsi tersebut, mediasi menawarkan perbedaan dalam menangani konflik dengan cara yang mampu membangun nilai-nilai multikulturalisme berupa akomodasi interest, menciptakan nilai, prinsip sukarela dan konsesnsual, prosedur yang fleksibel, berpusat pada orang lain, orientasi hubungan, fokus masa depan, kesebayaan dan collaborative.








DAFTAR PUSTAKA

Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2005. “Otonomi Daerah, Pemberdayaan, Multikulturalisme dan Konsep Putra Daerah.” Dalam Proyeksi, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial. Vol. IX, No. 1, April.
Laurence Boulle, 1996. Mediation: Principle, process, pratice. Sydney: Butterworths.
Suparlan, Parsudi. 2001. “Indonesia Baru dalam Perspektif Multikulturalisme.” Dalam Harian Media Indonesia. 10 Desember.


[1] Keterangan yang disampaikan oleh pihak-pihak tidak akan menjadi bukti di persidangan jika proses mediasi ini gagal

0 komentar:

Posting Komentar