Jumat, 09 Desember 2011

SEBUAH PERTANYAAN


Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa teman HMI mengunjungi salah seorang rekan yang orang tuanya sedang sakit keras. Rumah rekan tersebut cukup jauh, di luar kota Pontianak, masuk kabupaten kuburaya. Perjalanan menuju ke sana sungguh sangat sulit dan memakan waktu tempuh yang lumayan lama. Namun, tak sedikitpun kami mengeluh karena tujuan kami berkunjung untuk menunjukkan rasa belasungkawa dan kesetiaan.
Satu hal yang menarik, menggelitik pikiran saya hingga saat ini adalah salah satu bagian dari percakapan kami di teras rumah rekan tersebut. Rekan kami tersebut adalah etnis madura. Sementara teman satu rombongan, yang waktu itu berjumlah 7 orang, terdapat 2 orang etnis madura. Saat itu, kami sedang mengobrol lepas saja hingga statement tersebut dilontarkan dan diperkuat oleh rekan-rekan saya yang beretnis madura. Mereka mengungkapkan bahwa saat  ini mereka mengkhawatirkan generasi madura yang akan melupakan bahasa madura sehingga mereka mewajibkan berbahasa madura di rumah dan di dalam komunitas. Statement tersebut juga dibenarkan dan diperkuat oleh saudara dari tuan rumah, bahwa generasi tua madura khawatir bahwa suatu saat bahasa madura akan punah.
Mendengar statement tersebut, di dalam pikiran saya kemudian merasa lumrah jika selama ini saya perhatikan rekan-rekan madura saya lebih senang berbahasa madura jika bertemu dengan komunitasnya, baik itu di lingkungan mereka sendiri, maupun di keramaian di luar komunitasnya.
Beberapa saat setelah kunjungan kami untuk menjenguk orang tua rekan yang sedang sakit, kami kembali berkunjung ke rumah salah satu rekan yang juga tinggal di daerah yang sama. Rekan tersebut juga etnis madura. Dari percakapan ringan kami dengan tuan rumah, kembali saya mendapat penegasan bahwa saat ini generasi muda madura sudah banyak yang tidak dapat berbahasa madura halus, tidak hanya anak muda, orang tuanya juga. Ibunya rekan kami bahkan menceritakan pengalamannya pada prosesi lamaran etnis madura. Beliau menambahkan bahwa hanya generasi muda yang bersekolah (mondok) di pesanteren madura tradisional saja yang bisa menggunakan bahasa madura halus. Salah satu rekan dalam rombongan perjalanan kami  ternyata mampu berbahasa madura halus. Dia mengajak ibunya rekan saya berbahasa madura halus. Sementara kami hanya terdiam dengan pikiran masing-masing sambil mendengarkan bahasa-bahasa asing tersebut. Demikianlah alasan mengapa mereka harus berbahasa madura.
Namun tiba-tiba pikiranku melayang pada sebuah public hearing terbatas yang diadakan oleh YSDK beberapa waktu yang lalu. Saat itu, salah satu undangan merupakan perwakilan dari korban konflik sambas yang sekarang mengikuti program relokasi di Tebang Kacang. Secara materil, orang-orang tersebut telah hampir pulih. Tapi, mereka mengungkapkan bahwa muncul permasalahan-permasalahan lain yang harus mereka hadapi di tempat relokasi. Salah satu permasalahan yang mereka hadapi saat itu, bagiku, kontradiktif dengan statement-statement di atas. Di relokasi, orang-orang madura tersebut merasa didiskriminasi dengan menempatkan mereka satu komunitas di suatu tempat. Pasca konflik tersebut mereka berharap dapat berbaur kembali dengan etnis lain. Harapan mereka tersebut sangat beralasan karena jika mereka hanya dikumpulkan dalam satu komunitas dan satu lokasi, anak-anak mereka mengalami kesulitan untuk berbahasa Indonesia.
Kontradiktif bukan? Etnis madura yang tidak mengalami konflik secara langsung menganggap perlunya berbahasa madura secara intensif untuk mempertegas identitas tentunya. Sementara etnis madura yang mengalami konflik langsung justru merasa perlu untuk mendapatkan lingkungan yang plural agar dapat berbahasa Indonesia secara intensif!
Saya berpikir keras hingga hari ini. Namun, saya tahu jawaban bukanlah hadir dari pikiran saya atau dari literatur-literatur itu. Jawaban sepenuhnya ada pada mereka. Dan saya tidak mau menilai.

1 komentar:

It's a nice post!
Lain ladang, lain belalang. Lain orang pasti lain juga permasalahannya dan solusinya. Nggak akan bisa digeneralisasikan, kecuali ada salah satu keinginan yang dikorbankan. :)
Anyway, di Jawa sekalipun yang itungannya dekat dengan pulau Madura, banyak juga keturunan Madura yang sudah nggak bisa menggunakan bahasa Madura. Aku salah satunya.
Ibuku ada darah Madura, tapi karena besar di Jawa dan bersuami orang Jawa maka bahasa pengantar di rumah kami adalah bahasa Indonesia, yang artinya aku dan sodara-sodaraku nggak hanya nggak bisa bahasa Madura, bahasa Jawa pun kami nggak bisa. Kalau dipikir sayang banget, karena siapa lagi yang akan melestarikan budaya kalau bukan generasi kita. :)

Posting Komentar