Sabtu, 16 Juli 2011

BRAND CHARISMA

Oleh: Zuraida
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana yang dkemukakan oleh Phlip Kotler (2003), bahwa problem sentral yang dhadap bisnis dewasa ni bukanlah kurangnya barang-barang, tetapi berkurangnya konsumen. Hal ini tentunya hanya merupakan suatu peristilahan dari ketidaksebandingan antara produksi barang-barang dan daya beli konsumen.
Bayangkan, jika hampir kebanyakan perusahaan/produsen memproduksi barangnya secara maksimal, yang mungkin akan lebih banyak dari pada kemungknan barang yang akan dibeli oleh konsumen. Dalam hal ini setiap produsen/ perusahaan beranggapan bahwa pertumbuhan tingkat permintaan akan semakin besar setiap tahunnya. Hal yang akan terjadi adalah kelebihan kapasitas produksi yang dihasilkan, apalagi ternyata anggapan mengenai pertumbuhan permntaan konsumen adalah salah.
Maka akan terjadi banyak kelebihan barang produks (over product). Untuk mensiasati hal tersebut maka perusahaan akan mengusahakan penjualan yang ‘gila-gilaan’ baik dengan cara menjual produk disertai bonus barang dan persaingan yang tidak sehat/ hiperkompetisi. Namun, dampak lebih buruk yang mungkin saja terjadi pada perusahaan/ konsumen adalah menurunnya keuntungan perusahaan/ produksi secara massif, yang akhirnya dapat menyebabkan kebangkrutan. Untuk itu, perusahaan harus memikirkan cara-cara kreatif supaya produknya tetap dikenal serta eksis dan memiliki tempat tersendiri dalam persaingan dan perolehan konsumen. Dengan demikian, titik berat dalam upaya pemasaran adalah strategi produk.
Salah satu strategi produk yang menjadi isu utama adalah penetapan merek dalam suatu perusahaan. Di satu pihak, mengembangkan produk bermerek membutuhkan investasi pemasaran yang sangat besar dalam jangka panjang, terutama untuk iklan, promosi, dan kemasan. Namun tidak dapat dpungkiri bahwa pemberian merek mampu mengendalikan cara pandang pelanggan kepada produk.
Konsumen memandang merek sebagai bagian penting dari suatu produk dan dengan menetapkan merek dapat menambah nilai suatu produk. Misalnya, kebanyakan konsumen akan menganggap sebotol parfum White Linnen sebagai produk bermutu tinggi dan mahal. Tetapi produk parfum yang sama dalam botol polos mungkin sekali dipandang sebagai barang bermutu rendah, walaupun harumnya hampir sama.
Namun, tidak semua merek mendapat pengakuan sebagaimana yang dicontohkan dalam White Linen. Merek tentunya memiliki kualifikasi-kualfikasi tertentu yang akan menyebabkannya memperoleh loyalitas pelanggan. Diantaranya adalah merek dengan ekuitas merek yang kokoh. Akan tetapi hal tersebut tidaklah cukup, merek juga harus memiliki sesuatu yang membuatnya berbeda dari merek lainnya, inilah yang disebut dengan brand charisma.
Dengan latar belakang permasalahan/ konteks yang penulis paparkan, maka penulis menilai sangat urgen untuk memaparkan mengenai merek dan brand charisma sebagai salah satu strategi merek yang sangat istimewa.
































BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Merek
American Marketing Association sebagaimana yang dikutp oleh Philip Kotler (1997: 63), mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, symbol atau rancangan, atau kombinas hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Selan itu, mereka juga merupakan janji penjual untuk menyampaikan kumpulan sifat, manfaat dan jasa spesifik secara konsisten kepada pembeli.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa merek dapat memiliki berbagai bentuk, diantaranya dapat berupa nama, merek dagang, logo, atau symbol lainnya. Akan tetapi merek sebenarnya lebih dari sekedar symbol. Menurut Kotler (1997: 63), mereka mengandung enam tingkat pengertian sebagai berikut:
1.      Atribut: merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu. Misalnya, Mercedes yang menyatakan sesuatu yang mahal, dibuat dengan baik, terancang baik, tahan lama, bergengsi tinggi, nilai jual kembali yang tinggi, cepat, dan lain-lain. Mercedes mengusung semboyan dalam iklannya untuk memproyeksi atribut lain dari mobil tersebut yang berbunyi: “Dirancang tidak seperti mobil manapun juga di dunia ini.”
2.      Manfaat: suatu merek tentunya harus merupakan kesesuaian antara atribut yang ditawarkan serta manfaat fungsional dan atau emosional. Manfaat fungsional pada mobil misalnya “tahan lama”, sedangkan manfaat emosional pada mobil misalnya “harga yang mahal”.
3.      Nilai: merek menyatakan sesuatu mengenai nilai produsen. Misalnya, nilai-nilai yang ditawarkan mersedes seperti kinerja tinggi, gengsi, keamanan haruslah sesuai dengan harapan kelompok pembeli mobil.
4.      Budaya: merek mewakili budaya tertentu. Misalnya Mercedes merupakam nama merek Jerman dan mewakili budaya Jerman seperti terorganisasi, efisiens dan kualitas tinggi.
5.      Kepribadian: merek mencerminkan kepribadian tertentu seperti orang, binatang ataupun obyek (benda). Misalnya Mercedes mencerminkan suatu obyek dan agung.
6.      Pemakai: merek menunjukkan jenis konsumen yang menggunakan produk tersebut. Misalnya Mercedes diharapkan dapat digunakan oleh seorang manager puncak berumur paruh baya karena pemakainya diharapkan dapat menghargai nila, budaya dan kepribadian produk tersebut.
Keenam tingkat pengertian merek di atas merupakan panduan pemasar untuk menentukan atribut merek yang disesuaikan dengan tingket identitas merek. Jika keenam tingkat pengertian merek tersebut tidak dijadikan panduan maka, kemungkinan tiga hal akan terjadi. Pertama, pembeli tidak begitu tertarik pada atribut merek dibandingkan dengan manfaat merek. Kedua, pesaing dapat dengan mudah meniru atribut tersebut. Ketiga, atribut yang sekarang mungkin nanti akan kurang bernilai, sehingga merugikan merek yang terlalu terikat pada atribut tersebut.
Namun, tentunya merek tersebut harus memiliki kualitas yang sesuai dengan identitas merek yang diusung. Selain itu, jika merek telah menentukan identitas unggulannya, sedangkan terdapat pesaing yang memiliki identitas unggulan yang sama, maka merek tersebut harus melakukan manuver untuk mempertahankan identitas unggulannya.
Adapun manfaat merek terhadap penjual atau pemasar menurut Philip Kotler (1997: 66-67) adalah sebagai berikut:
1.      Merek memudahkan penjual memproses pesanan dan menelusuri masalah. Jadi Anheuser-Busch menerima pesanan seratus peti bir Michelob dan bukannya pesanan “birmu yang lebih baik”. Selain itu penjual juga merasa lebih mudah menelusuri pesanan jika salah dikirimkan, atau menentukan mengapa birnya rusak jika pelanggan mengeluh.
2.      Merek memberikan penjual kesempatan untuk menarik pelanggan yang setia dan menguntungkan. Kesetiaan merek member penjual perlindungan dari persaingan serta pengendalian yang lebih besar dalam perencanaan program pemasarannya.
3.      Merek membantu penjual melakukan segmentasi pasar. Dari pada hanya menjual satu deterjen saja. P&G dapat menawarkan delapan merek deterjen, masing-masing memiliki formula yang berbeda dan ditujukan pada segmen pasar yang berbeda.
4.      Merek yang kuat membantu membangun citra perusahaan, memudahkan perusahaan meluncurkan merek-merek baru yang mudah diterima pasar distributor dan pelanggan.
B.     Merek Sebagai Strategi Pasar
Merek bervariasi dalam hal kekuatan dan nilai yang dimilikinya di pasar. Pada satu ekstrem adalah merek yang tidak diketahui oleh sebagian besar pembeli di pasar. Dan ada pula merek yang terhadapnya pembeli memiliki tingkat kesadaran merek (brand awareness) yang tinggi (diukur berdasarkan ingatan atau pengakuan atas merek tersebut). Di atas itu ada merek yang memiliki tingkat penerimaan merek (brand acceptability) yang tinggi --- dengan kata lain, merek yang sebagian besar pelanggan tidak akan menolak membelinya. Kemudian ada pula merek yang menikmati tingkat preferensi merek (brand preference) yang tinggi. Akhirnya ada merek yang memiliki tingkat kesetiaan merek (brand loyalty) yang tinggi (64).
Sebagai contoh (Kotler, 1997: 65); berdasarkan tingkat penerimaan pelanggan/ brand equity, sepuluh merek paling berharga di dunia, menurut survey nilai merek tahun 1994 oleh Financial World secara berurutan adalah sebagai berikut: Coca-Cola, Marlboro, Nescafe, Kodak, Microsoft, Budweiser, Kellogg’s, Motorola, Gillette, dan Bacardi.
Merek-merek berharga tersebut tentunya memiliki kualitas tertentu untuk dapat dikatakan berharga. Adapun kualitas yang ingin dimiliki oleh suatu merek adalah sebagai berikut (Philip Kotler, 1997: 70):
1.      Harus menyatakan sesuatu tentang manfaat produk. Misalnya: Beautyrest, Craftsman, Accutron.
2.      Harus menyatakan kualitas produk seperti tindakan atau warna. Misalnya: Sunkist, Spic and Span, Firebird.
3.      Harus mudah diucapkan, dikenal dan diingat. Misalnya: Tide, Crest, Puffs.
4.      Harus berbeda. Misalnya: Mustang, Kodak, Exxon.
5.      Harus tidak berarti buruk di Negara dan bahasa lain. Misalnya: Nova merupakan nama yang buruk untuk dijual di Negara-negara berbahasa Spanyol: artinya “tidak jalan”.
Produsen yang memutuskan untuk member merek pada produknya harus memilih nama merek apa yang akan digunakan dan tentunya berdasarkan kategori tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh perusahaan. Menurut Kotler pemberian nama merek tersebut dapat dilakukan dengan empat strategi berikut ini (1997: 70):
1.      Nama merek individual: Kebijakan ini diikuti oleh General Mills (Bisquick, Gold Medal, Betty Crocker, Nature Valley).
2.      Nama keluarga keseluruhan untuk semua produk: kebijakan ini diikuti oleh Heinz dan General Electric.
3.      Nama-nama keluarga yang berbeda untuk semua produk: kebijakan ini diikuti oleh Sears (Kenmore untuk perlengkapan rumah, Craftsman untuk perkakas, Homart untuk instalasi rumah utama.
4.      Nama dagang perusahaan dikombinasikan dengan nama produk individual: Kebijakan ini diikuti oleh Kellog’s (Kellogg’s Rice Krispies, Kellog’s Raisin Bran, dan Kellogg’s Corn Flakes).
Menurut Kotler dan Gary Armstrong (1997: 290), sebuah perusahaan memiliki empat pilihan dalam strategi merek yaitu memperkenalkan perluasan lini (nama merek yang sudah ada diperluas ke bentuk, ukuran, dan aroma baru dari kategori produk yang sudah ada), perluasan merek (nama merek yang sudah ada diperluas ke kategori produk baru), multi-merek (nama merek baru diperkenalkan dalam kategori produk yang sama), dan merek baru (nama merek baru dalam kategori produk baru).
Strategi merek dengan perluasan lini sebagai contohnya pernah dilakukan oleh Dannon yang memperkenalkan perluasan baru dalam kategori produknya yang telah eksis dengan cara memproduksi tujuh aroma yogurt baru, yogurt tanpa lemak dan yogurt ukuran ekonomi yang besar. Keunggulan strategi merek ini adalah upaya pemenuhan selera konsumen terhadap variasi produk perusahaan. Sedangkan kelemahan strategi merek ini adalah nama merek yang mengalami perluasan kemungkinan dapat kehilangan arti spesifiknya dan biaya pengembangan serta promosi yang terlalu besar.
Strategi berikutnya adalah strategi merek dengan perluasan merek sebagaimana yang dpraktekkan oleh perusahaan Honda, dimana Honda menggunakan nama perusahaannya untuk meliputi produk yang berbeda-beda seperti mobil, sepeda motor, penyemprot salju, mesin pemotong rumput, mesin kapal, dan mobil salju. Adapun keuntungan yang ditawarkan dengan strategi perluasan merek ini adalah pangsa pasar yang lebih besar dan efisiensi biaya iklan yang tinggi. Sedangkan resiko yang terdapat dalam strategi ini adalah kegagalan perluasan merek dapat menyebabkan perubahan sikap konsumen terhadap produk lan yang menggunakan nama merek yang sama dan ketidakcocokan nama merek dengan produk baru.
Strategi multi merek merupakan salah satu upaya yang dapat dijadikan pilihan dalam strategi merek. Sebagai salah satu contohnya adalah Seiko yang menggunakan nama merek berbeda untuk arloji dengan harga tinggi (Seiko Lasalle) dan arloji dengan harga rendah (Pulsar) untuk melindungi merek utama Seiko dari persaingan. Strategi ini juga memiliki keuntungan menjaga stabilitas nama merek agar dapat memiliki pelanggan setia. Sedangkan kelemahan strategi ini adalah kemungkinan nama merek hanya menguasai sedikit pangsa pasar yang juga menghasilkan laba sangat sedikit.
Strategi merek yang terakhir adalah dengan memperkenalkan merek baru sebagaimana yang diterapkan oleh Sears yang memberikan nama merek berbeda untuk setiap kategori produk yang berbeda, misalnya Kenmore untuk perabot rumah tangga, craftsman untuk peralatan, dan Homart untuk kategori alat-alat rumah tangga yang besar. Salah satu kegunaan strategi merek ini adalah untuk mengganti posisi merek terdahulu yang telah kehilangan loyalitas pelanggan. Sedangkan kelemahannya adalah penyebaran sumber daya perusahaan yang terlalu sedikit untuk masing-masing merek baru.
C.    Merek berkarisma (Charismatic Branding)
David Aakers (Hermawan Kertajaya, dkk, 2003: 71) mengungkapkan bahwa untuk memenangkan persaingan dalam pemasaran dan penjualan produk, sebuah perusahaan harus memiliki ekuitas merek yang kokoh. Ekuitas merek yang kokoh tersebut terdiri dari brand awareness, brand association, perceived quality dan brand loyality yang kokoh. Namun, menurut Hermawan Kertajaya, untuk menegaskan eksistensi merek tidak cukup hanya ekuitas merek yang kokoh, merek juga harus memiliki brand charisma.
Brand Charisma atau merek yang karismatik tidak hanya menawarkan emotional, intellectual atau functional value. Akan tetapi, juga menawarkan spiritual value yang membuat hubungan antara merek dan pelanggan lebih erat. Brand charisma akan menjadikan suatu merek berbeda dari merek lain yang memiliki ekuitas merek yang sama-sama kokoh.
Sebelum memahami mengenai merek berkarisma, ada baiknya memahami terlebih dahulu mengapa sesuatu atau seseorang disebut memiliki karisma. Menurut Hermawan Kartajaya (2003: 73), tolak ukur karismatik dapat dilhat dari beberapa hal berikut ini:
1.      Pencapaian yang luar biasa, terus menerus dan tanpa cacat, extraordinary.
2.      Daya tarik dan aura yang menyelimuti secara keseluruhan setiap gerak dan langkah.
3.      Reputasi yang tak terbantahkan, kredibiltas tinggi, dan sangat dihormati oleh para pengikutnya.
4.      Memiliki kekuatan dalam menginspirasi dan mempengaruhi para pengikutnya.
Dari tolak ukur yang dikemukakan di atas, realitasnya dapat kita lihat melalui tokoh-tokoh yang telah dikenal karismanya seperti, Soekarno, Martin Luther King, Gandhi, Dalai Lama, Ibu Theresa, Albert Enstein, Elvis Presley, Mchael Jakson, Muhammad Ali, dan Michael Jordan.
Adapun criteria dasar merek karismatik sebagaimana yang diungkapkan oleh Hermawan Kartajaya (2003: 76-78) adalah sebagai berikut:
1.      Merek atau perusahaan dkatakan berkarisma jika ia memiliki kinerja yang tanpa cela secara berkelanjutan. James Collins dan Jerry Porras menyebut perusahaan macam ini sebagai the visionary companies. Sementara Arie de Geus menyebutnya sebagai the living company. Coca cola, Disney, General Electric dan McDonald’s adalah beberapa perusahaan yang merupakan kandidat pas dari kritera pertama ini.
2.      Merek dan perusahaan tersebut haruslah sangat dihormati, dipuja-puja, dan memiliki aura yang menyelimuti setiap sisi merek. General electric adalah bagian sangat kecil dari perusahaan yang sangat dihormati dan dipuja. Tak hanya oleh pelanggannya tetapi juga karyawan-karyawannya.
3.      Merek dan perusahaan tersebut memiliki daya magnet dan kekuatan yang besar dalam menginspirasi, menjadi panutan dan merupakan “keyakinan” bagi pelanggan. Sebagai contohnya adalah Virgin, Harley-Davidson dan The Body Shop.

Kriteria merek berkarisma di atas salah satunya dimiliki oleh The Body Shop yang memberikan inspirasi bagi seluruh pengikutnya dengan filosofi profit with principle: bahwa misi dan nilai-nilai The Body Shop sama pentingnya dengan produk dan profit. The Body Shop mewujudkannya dalam berbagai bentuk kepedulian terhadap isu yang berkembang terkait dengan persoalan masyarakat dan lingkungannya. Ini diwujudkan dalam berbagai aktivitas social seperti, menentang percobaan terhadap binatang dalam industry kosmetik, membantu mengembangkan energy alternative dalam rangka menyelamatkan bumi dan lain sebagainya.
Marc Gobe (2002: 93) dalam bukunya mengungkapkan salah satu rahasia sukses The Body Shop. Dimana The Body Shop dirancang dan dijalankan oleh serangkaian “Tim Etika Bisnis” yang mengawasi beragam aspek bisnis, seperti kampanye dan program yang berkaitan dengan masyarakat, dari perspektif tanggung jawab social. Hal itulah yang menyebabkan merek produk ini dianggap memiliki karisma, selain brand awareness, brand association, perceived quality dan brand loyalty yang dimilikinya yang tentunya tak diragukan lagi.













BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mengingat persaingan perusahaan yang semakin ketat, dalam strategi merek, selain hal-hal bersifat materil seperti brand awareness, brand association, perceived quality dan brand loyalty yang kokoh, dibutuhkan juga sesuatu yang dapat membuat merek suatu produk berbeda dengan yang lain. Untuk membuat perbedaan yang menyebabkan suatu produk menjadi istimewa diperlukan karisma merek.
Karisma merek bukanlah hal yang dibangun dengan mudah. Memerlukan waktu yang panjang serta upaya yang berkesinambungan dalam mempertahankan eksistensi suatu produk dengan keunggulan kualitas yang diharapkan pelanggan. Sebagai salah satu contoh yang diusung oleh The Body Shop bahwa merek tidak melulu berhubungan dengan keuntungan yang diharapkan suatu perusahaan, akan tetapi merek juga harus mampu mengusung nilai-nilai etis yang terkait dengan kehdupan social kemasyarakatan dan lingkungan hidup.


















DAFTAR PUSTAKA

Kartajaya, Hermawan, dkk. (2003). Marketing in Venus. Jakarta: Gramedia
Marc Gobe. (2001). Citizen Brand; 10 Perintah Untuk Mentranformasikan Merek dalam Demokrasi Konsumen. Jakarta: Erlangga
Philip Kotler dan Gary Armstrong. (1997). Dasar-dasar Pemasaran; Principle of Marketing 7e Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Prenhallindo
Philip Kotler. (1997). Manajemen Pemasaran (Marketing Management); Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Kontrol. Jakarta: Prenhallindo
___________. (2003). Marketing Insights From A to Z; 80 Konsep yang Harus Dipahami Oleh Setiap Manajer. Jakarta: Erlangga  

0 komentar:

Posting Komentar