Minggu, 15 Mei 2011

06.48 - No comments

RENUNGAN 8 MARET; HARI WANITA SE-DUNIA

Membincangkan kaum hawa (perempuan) tak akan pernah ada habisnya. Bahkan, disebutkan oleh para pengamat bahwa keajaiban kedelapan setelah tujuh keajaiban dunia adalah kaum hawa. Telah ada banyak pembahasan tentang hawa, mulai dari penciptaanya hingga berbagai dinamika kehidupannya, namun tak satupun menemukan bahasan yang tuntas menyeluruh. Dengan demikian, isu seputar kaum hawa dan tuntutannya terhadap kesetaraan status dan kehidupan sosial kemasyarakatan (gender) tak akan pernah menjadi isu yang kering (out of date).
Sejarah mencatat bahwa sebagian besar peradaban-peradaban yang pernah ada sangat mendeskriditkan kaum hawa. Kaum hawa dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting, tidak perlu dibicarakan, tidak perlu dipikirkan hak dan kewajibannya dalam hidup ini. Hawa ibarat perhiasan, namun tidak dianggap berharga. Mereka yang kebetulan lahir di dalam kastil-kastil akan menjadi hiasan di sana, disimpan didalamnya dan jika diperlukan dapat digunakan sesuka hati. Sedangkan jika kebetulan mereka lahir jauh di luar tembok-tembok kastil/ istana,  maka nasibnya akan lebih mengenaskan lagi, bahkan dianggap tak berharga, sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah.
Bahkan, seorang penulis novel asal Inggris mengungkapkan mentalitas kaum hawa dengan ungkapan, meskipun perempuan itu penting dan diperlakukan dengan baik, mereka tetaplah menempati posisi nomor dua setelah laki-laki (Ali Hosein Hakim, et, al, 2005: 54).
Tidak dapat dipungkiri bahwa realitas saat ini tidak begitu banyak merubah kehidupan sosial kaum hawa, dimana ilmu pengetahuan telah berkembang dan peradaban semakin maju. Kaum hawa memang tidak lagi didiskreditkan secara fisik dengan cara boleh dibunuh atau dianiaya, namun kaum hawa tetap saja dibatasi dengan kesenjangan dalam sosial kemasyarakatannya. Misalnya, stereotype dalam masyarakat bahwa yang lazimnya bekerja hanya laki-laki sedangkan kaum hawa sebaiknya hanya di rumah saja dan lain sebagainya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, sebuah upaya penyetaraan posisi kaum hawa dalam pandangan sosial kemasyarakatan menjadi sangat urgen. Kebutuhan inilah yang kemudian menjadikan gender sebagai sebuah isu sentral dalam perjuangan makhluk kelas sosial kedua ini.
Namun, permasalahan tidak lantas berhenti sampai di situ. Spekulasi seputar kehidupan kaum hawa terus berkembang dan bertambah kompleks. Dalam upayanya untuk mendapatkan apresiasi yang sama di ranah social kemasyarakatan dengan kaum adam, kaum hawa harus menghadapi prasangka buruk terhadap istilah gender. Gender dianggap hanya membicarakan kaum hawa an sich, sehingga menjadi momok tersendiri bagi kaum adam dan masyarakat umum untuk membicarakannya.
 Padahal jika ditelusuri asal penggunaan istilah tersebut, maka istilah tersebut sesungguhnya tidak hanya digunakan bagi kaum hawa. Pemakaian istilah gender untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Anne Vakley, yang diartikan sebagai suatu konsep tentang sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim) yang dibentuk secara sosio-kultural (Dadang Anshori, dkk, 1997). Dengan kata lain, yang dibicarakan dalam gender ini adalah adam dan hawa dalam kaitannya dengan status, peran, dan interrelasi keduanya yang sederajat. Adapun yang diusung dalam isu gender ini adalah pemahaman bahwa kaum hawa dan kaum adam memiliki hak dan kewajuban masing-masing untuk diakui, dianggap sama pentingnya dalam kaca-mata sosial dan budaya. Sebagai contoh, jika kaum adam berhak mendapatkan pendidikan, maka hawa pun memiliki hak yang sama.
Permasalahan-permasalahan di atas hakikatnya tidak hanya berasal dari eksternal diri perempuan (kebudayaan dan pemahaman masyarakat), tetapi juga terkadang berasal dari diri wanita itu sendiri yang telah terbiasa memposisikan diri sebagai makhluk kelas dua.
Untuk itu, hari wanita sedunia yang bertepatan pada 8 Maret ini hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk reinterpretasi dalam upaya pengukuhan peran dan fungsi wanita pada ranah social kemasyarakatan. Wanita bukanlah makhluk kelas dua yang menempati ruang kemanusiaan yang tersisa dari keberadaan pria pada bidang social kemasyarakatan, tapi wanita memiliki identitas tersendiri yang mampu eksis secara tegas dan setara dalam kemanusiaannya. Wanita memiliki peran dan fungsi tidak hanya pada ruang domestic (rumah-tangga) tapi juga memiliki peran publik sesuai dengan profesionalitas yang dimilikinya. SELAMAT HARI WANITA SE-DUNIA! JAYALAH KOHATI, bahagia HMI!

0 komentar:

Posting Komentar