Kamis, 11 Februari 2021

After the Death Chapter 1

Banyuwangi, tahun 1998.

Seorang lelaki paruh baya dengan blangkon melingkar di kepala berdiri gusar sembari mengintip keluar jendela bertirai hitam. Cahaya kilat yang membelah langit menyelinap dari sedikit celah tirai yang terbuka, menjadi satu-satunya penerangan di dalam ruangan yang keseluruhannya gelap. Sementara, deru angin yang berembus dari ventilasi dan celah jendela meniup liar tirai hitam serta anak-anak rambut abu-abu yang menyembul dari celah blangkon lelaki itu. Matanya menatap nyalang pada kegelapan di halaman rumah seolah sedang memantau pergerakan tak kasatmata di balik hujan.

Lelaki paruh baya bernama Santosa itu lantas melirik gagang pintu, pada anak-anak kunci yang beradu liar akibat tertiup angin. Suara dentingnya terdengar bagai lonceng pemanggil arwah yang sering ia gunakan pada beberapa ritual santetnya. Harusnya Santosa terbiasa dengan bebunyian itu, tetapi entah mengapa malam ini segala sesuatu yang mengingatkannya pada profesinya menjadi teramat menakutkan. Dengan tangan gemetar, Santosa meraih gagang pintu, dan untuk yang ke sekian kalinya kembali memeriksa anak kunci. Pintu itu masih terkunci seperti bermenit-menit yang lalu. Namun, agaknya Santosa tak juga merasa puas dan aman. Ia lalu memeriksa pengait pintu atas dan bawah, kembali memastikan jika benda tersebut masih di posisi semula. 

Setelah melewati bermenit-menit meragu, Santosa akhirnya mengembuskan napas panjang. Bukan kelegaan, melainkan sebuah keterpaksaan. Ia menjauhi jendela dengan langkah terseok. Akan tetapi, belum seberapa berjarak, lelaki paruh baya itu kembali menoleh. Mata yang dibingkai kelopak keriput itu kembali mengawasi bayang-bayang gelap di luar jendela yang silang sengkarut membentuk sesosok monster besar berwujud mengerikan dengan tangan banyak yang menghantuinya dari luar rumah. Ranting-ranting pepohonan yang ujung-ujungnya runcing itu bergerak liar akibat embusan angin seumpama cakar gergasi yang siap untuk mencengkeram. Santosa refleks mundur beberapa langkah saat imajinasi dalam kepalanya mulai terasa menjadi nyata dan seolah bergerak ke arahnya.

Tepat saat kilat menyambar disertai gemuruh yang menggelegar, Santosa memekik ketakutan. Tungkainya lemas bersamaan dengan keberaniannya yang sontak sirna. Ia jatuh terduduk seraya memeluk lutut di atas lantai kayu rumahnya. Ia takut jika ninja-ninja itu akan mendatanginya, mencabut nyawanya seperti mereka mencabut nyawa Parjo, Parmin, dan rekan seprofesinya yang lain. Sejak beberapa hari lalu, Santosa seolah telah mendapat firasat bahwa hari akhirnya akan segera tiba. Parjo dibacok sesosok ninja di rumahnya beserta anak dan istrinya, sementara Parmin dibunuh beramai-ramai saat sedang berada di pasar pada siang bolong. Dukun-dukun dan orang pintar lainnya juga mendapat kematian yang tak kalah mengenaskan. Andai saja Santosa bisa memperoleh sedikit saja rambut atau kuku dari tubuh para ninja, maka sudah barang tentu ia tak akan sekalut ini. Bayangan kematian rekan-rekannya sesama dukun santet kembali berkelebat dalam ingatan, silih berganti hingga membuat Santosa nyaris saja memuntahkan makan malamnya. 

Dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian dan tenaga yang dimiliki, Santosa berusaha menopang tubuhnya berdiri. Asam urat yang kambuh sejak semalam cukup menyulitkan pergerakannya, sehingga ia harus beringsut dengan sebelah tangan yang bertumpu pada dinding. Ia menyeret tubuhnya menuju kamar untuk bersembunyi.

Tiba-tiba bunyi gesekan pada genting seng terdengar samar-samar dari balik riuh tetes hujan. Tanpa alasan yang jelas, Susanto lantas merasakan bulu kuduknya meremang. Ia sontak mempercepat langkah sembari mengatur napasnya yang mulai memburu. Sementara, bunyi gesekan konstan itu akhirnya mereda, tetapi berakhir dengan sebuah dentuman nyaring yang menghantam lantai semen retak di bagian belakang rumahnya. 

Jantung Susanto nyaris berhenti. Tubuhnya menegang kaku. Ia sangat mengenal pertanda ini, melalui rekan-rekan sesama profesi, maupun gunjingan tetangga. Susanto memang tidak memiliki televisi, tetapi koran yang digilir setiap pagi di balai desa cukuplah menjadi sumber informasi mengenai adanya perburuan terhadap orang-orang sepertinya oleh para ninja. Pembahasan mengenai pertanda dan bagaimana ajal menjemput para dukun nahas itu telah benar-benar ia hafal. Listrik yang mendadak padam, bunyi genteng hingga lompatan merupakan pertanda datangnya para ninja di malam hari.

Susanto menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang refleks tercipta saat ia mengingat teror yang diceritakan orang-orang dan kemungkinan bahwa saat itu adalah gilirannya. Namun, semakin Susanto menolak, pikiran-pikiran itu agaknya terasa semakin nyata. Saat jari-jemarinya berhasil mencengkeram gagang pintu yang sedingin es, Susanto lantas mendengar bunyi derit yang melengking akibat tak pernah diminyaki. 

Akan tetapi, ketika ia melirik gagang pintu dalam cengkramannya, ia segera menyadari jika bukan dari gagang pintu kamarnya bunyi itu berasal, melainkan dari sebuah pintu lain di dalam rumahnya. Meninjau dari bunyi berdebum yang terdengar samar dari arah dapur, maka Santosa menyimpulkan jika bunyi itu berasal dari sana. 

Dengan jantung yang bertalu kencang, Santosa dengan cepat menekan daun pintu kamar, membukanya tanpa memedulikan derit yang mengiringinya. Melalui celah pintu yang tak terbuka sempurna, Santosa menyelinapkan tubuh kurusnya gelagapan, kemudian dengan panik mengunci diri di dalam kamar. 

Dari balik pintu kayu yang telah tertutup, Santosa menangis pilu dengan telapak tangan membekap mulut. Firasat dan dugaannya sedari tadi rupanya tidak salah. Para ninja pembunuh itu kini telah menyatroni rumahnya, dan hanya dalam hitungan menit atau lebih cepat, hidupnya akan segera berakhir.

Suara hantaman perabot yang terdengar di antara deru hujan dan gemuruh disertai langkah kaki yang kasar dan menghentak segera menyadarkan Santosa dari keterpurukannya. Para ninja telah menerobos masuk dan ia harus melakukan sesuatu untuk dapat bertahan hidup sedikit lebih lama. Tangis Santosa serta-merta berhenti. Bukankah ia merupakan salah satu dukun santet terkemuka di desanya? Bukankah nyawa orang-orang nahas yang berurusan dengan pelanggannya dengan mudah dapat ia renggut? Barangkali ia bisa bermain-main dengan mautnya sendiri pada detik-detik terakhir. 

Maka, di bawah temaram cahaya dan kilat yang berkelebat sesekali dari celah jendela, Santosa menguatkan langkah setelah memastikan pintu kamarnya terkunci. Ia berjalan mengitari kamar dengan tertatih sembari memperkirakan letak-letak perabot di dalam kamarnya. Setelah berhasil meraih besi sandaran tempat tidurnya yang berkarat dan dingin, dengan sekuat tenaga, Santosa lantas mendorongnya ke arah pintu. Suara kaki besi yang beradu dengan lantai kayu sudah pasti dapat menarik kedatangan para ninja, tetapi ia tak peduli. Setidaknya besi tua itu dapat mempersulit para ninja yang mencoba mendobrak kamarnya.

Perabot terakhir yang ia andalkan adalah lemari kayu di sisi lain kamar yang nyaris kosong melompong karena minimnya sandang yang dimiliki. Engselnya yang berderit sudah barang tentu menimbulkan kecurigaan para ninja. Lagi-lagi Santosa tidak peduli. Dengan sisa-sisa kewarasan terakhir ia masuk dan meringkuk di dalamnya bagai seorang pecundang yang kalah sebelum berperang. 

Tubuh Santosa kembali menggigil. Dengan frustrasi dipeluknya kedua tungkai yang gemetaran. Di saat bersamaan, sesuatu menghantam pintu kamarnya dengan keras.

"Keluar kau dukun sialan!" Suara parau teredam topeng itu jelas-jelas menantangnya. Mereka, para ninja telah berhasil menemukan keberadaannya.

Namun, Santosa tetap bergeming. Ia memeluk tubuhnya semakin erat seolah sedang mempertahankan nyawanya yang sebentar lagi melayang. Mulutnya komat-kamit merapal mantra tak jelas, berharap para jin, iblis, dan setan yang pernah bersekutu dengannya mendengar dan mau membantunya dengan cuma-cuma. Akan tetapi, seperti yang telah ia ketahui sejak dahulu kala, makhluk-makhluk itu adalah para pengkhianat. Mereka tak akan pernah menolong manusia tanpa imbalan setimpal, sementara saat ini Santosa tak memiliki apa pun selain seutas benang nyawa yang sedang ia pertahankan kuat-kuat.

Bunyi dobrakan kedua kembali terdengar, bersamaan dengan gemuruh yang menggelegar. Dalam sepersekian detik, pintu kamar Santosa hancur saat sepasang ninja berpakaian hitam-hitam dengan sebilah parang terhunus melompat masuk melewati ambang pintu yang dihalangi tempat tidur ringsek. Lemari tersebut telah bergeser ke sembarang arah. 

Sambaran kilat yang menerangi bilah parang tajam dalam genggaman salah satu ninja tanpa sengaja tertangkap pandangan Santosa yang bersembunyi di dalam lemari hingga sontak membuatnya refles melolongkan tangis tertahan. Kecerobohan dan ketakutan sang dukun yang berlebihan akhirnya membuat kedua ninja berhasil menemukan keberadaannya tanpa upaya. 

Suara kekehan samar terdengar dari salah satu ninja yang terlebih dahulu berjalan mendekati lemari. Langkah kakinya yang kasar dilakukan sepelan mungkin untuk memberikan efek ketegangan maksimal pada Santosa yang menanti di dalam persembunyian. 

"Santosa ... dukun ke-74," gumam sang ninja setelah tawanya lenyap. 

Santosa semakin kuat merapal mantra. Tubuhnya menciut di sudut lemari. Bukan tanpa alasan sang ninja mengenalinya. Santosa tahu, begitu pula seluruh dukun dan orang pintar yang namanya telah tercatat dalam radiogram. Namun, berdasarkan kabar dari mulut ke mulut yang akhirnya singgah ke telinga Santosa beberapa hari lalu, radiogram yang bertujuan melindungi mereka dari para ninja itu dinyatakan hilang dan rupanya telah jatuh ke tangan para ninja itu sendiri.

"Pe-pergi ..." lirih Santosa di sela-sela tangis ketakutannya. 

"Bersiaplah menerima pembalasan, Santosa!" 

Pintu lemari tua di hadapan Santosa mendadak didobrak. Sesosok ninja terlihat berdiri di baliknya dengan parang besar nan tajam terhunus. Beberapa langkah di belakang sosok itu, ninja lain berdiri mengawasi dengan posisi parang yang sama siaganya, berkilat diterpa cahaya yang hilang datang dari celah-celah jendela kamar. 

Dengan gemetaran, Santosa mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata. Ia ingin melihat rupa para ninja yang telah membantai rekan-rekannya, dan sebentar lagi barangkali akan mencabut nyawanya juga. Mulutnya masih komat-kamit tak menentu, meski bukan lagi mantra yang terucap. Tubuhnya kaku, bahkan tak bisa beringsut sedikit pun dari posisinya untuk menghindar. 

"Setan, kalian!" Santosa mengumpat berang, tepat sebelum bilah parang sang ninja terangkat tinggi ke udara dan menghantam sebelah bahunya dengan sekali sabetan. 

Santosa menjerit pilu, sementara di luar, hujan semakin deras hingga menyamarkan teriakannya dari para tetangga. Darah memercik menjejak pada dinding lemari. Santosa belum mati. Namun, keadaan itu tak berlangsung lama. Bilah parang yang tajam dan dingin kembali mencabik tubuhnya hingga Santosa jatuh berguling ke luar lemari dan menghantam lantai kamar. Darah mengalir deras dari luka-lukanya yang menganga hingga menggenang di sekitar tubuh disertai bau anyir yang perlahan menguar hingga mencemari penghidunya. 

Santosa sekarat. Napasnya tinggal satu-satu, sementara tubuhnya didera nyeri. Akan tetapi, penderitaannya belum juga berakhir. Salah satu ninja yang hanya mengawasi sedari tadi lantas merangsek maju dengan membawa sebuah karung beras yang dibuka lebar. Dengan gerakan kasar dan gegas, sosok itu menendang tubuh tak berdaya Santosa untuk memaksanya masuk ke dalam karung. 

Santosa kembali menjerit seraya meronta-ronta dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Selain luka yang semakin menganga, ia juga merasakan beberapa tulang-belulang yang patah.

Pemberontakan Santosa lantas menyulut kemarahan sang ninja. Sosok bertopeng dan berpakaian serba hitam itu menghantamkan gagang parang ke atas kepalanya. 

Santosa terhuyung, setengah sadar saat tusukan demi tusukan kemudian menghujani beberapa bagian tubuhnya. Sungguh, Santosa tak pernah mengira jika nyawanya akan tercabut dengan cara yang sangat mengenaskan sekaligus menyakitkan seperti itu. Beberapa detik berikutnya, saat hujan perlahan mereda, kesadaran Santosa pun lambat-laun menghilang berganti pekat yang hampa. 


0 komentar:

Posting Komentar