Sabtu, 10 September 2011

Sebuah Renungan: PROVOKED


Provoked: sebuah film tentang perjuangan seorang perempuan India korban kekerasan domestic yang membunuh suaminya dalam mencari keadilan di mata Hukum Negara berperadaban tinggi, Inggris. Awalnya, semua orang menyalahkannya, laki-laki, perempuan, hukum bahkan orang-orang yang jelas menjadi saksi hidup atas kekerasan yang  dialaminya. Tapi semua diam, bahkan memberi kesaksian bohong atas rasa sakit fisik dan psikis yang dialaminya selama 10 tahun. Kiran, nama perempuan itu, akhirnya mendobrak tradisi sekaligus melanggar hukum positif karena kekerasan yang selama bertahun-tahun menderanya dari orang yang paling dikasihinya. Pada suatu malam ketika rasa sakit itu memuncak dan air mata telah membuncah tak terkendali, Kiran menyulut nyala kecil pada lilin yang akhirnya membakar hangus sang suami, hingga akhirnya sang suami meninggal dunia.
Peristiwa ketidakadilan yang dialami Kiran di rumah suaminya sendiri, tidak lantas berakhir pasca kematian suaminya. Ketidakadilan tersebut kemudian kembali harus dihadapi Kiran pada ranah hukum formal. Hukum di Inggris pada masa itu hanya melihat Kiran sebagai tersangka yang membunuh suaminya, tanpa menelisik pemicu dibalik pembunuhan tersebut, yang ternyata adalah kekerasan domestic yang menimpa Kiran selama sepuluh tahun.
Perjuangan Kiran dalam film yang merupakan dokumentasi kisah nyata ini, merupakan kunci revolusi hukum di Inggris.  Isu mengenai perempuan dan kekerasan domestic (KDRT) pada akhirnya menjadi isu yang juga diperhatikan semenjak mencuatnya kasus Kiran tersebut. Namun, perjuangan untuk menjadi setara dan dilindungi bagi perempuan tidak akan pernah usai karena masih banyak Kiran-Kiran lain yang belum tersentuh keadilan yang sesungguhnya.
Demikianlah, synopsis ringkas sebuah film yang baru saja aku saksikan. Benar-benar nyata, hingga rasanya bisa kuhirup seperti udara. Benar-benar menyentuh, hingga mungkin menimbulkan trauma tersendiri bagiku. Benar-benar tak terlupakan, setiap adegan terekam jelas dalam memoriku, pukulan, tendangan, tamparan, perkosaan yang dilakukan oleh orang yang paling dicintai, membuatku seolah-olah dapat merasakan setiap jengkal luka dan rasa sakitnya. Namun, satu hal yang paling nyata adalah ketidakadilan yang kerap kali dialami oleh korban kekerasan perempuan, ketidakadilan di rumah sendiri dan bahkan ketidakadilan di mata hukum.
Sebagian besar orang buta akan isu ini, bahkan memilih untuk pura-pura buta karena sensitivitas kesetaraan gender yang rendah atau karena paradigm partriarkhi yang meraja menyebabkan kewajaran bahwa “sudah selayaknya” perempuan sebagai makhluk kelas dua. Selain masyarakat dan hukum, ternyata agama juga terkesan tidak peka terhadap isu ini. Meskipun mungkin ada dalil-dalil agama yang mengukuhkan bahwa perempuan bukanlah makhluk kelas dua, tetapi interpretasi yang kerapkali misoginis merupakan hak prerogative penafsir yang mayoritas paradigmanya adalah partriarki.
Parahnya lagi, ketika perempuan secara harfiah telah menjadi korban kekerasan di rumah tangganya, mereka bahkan tidak menyadari bahwa mereka adalah korban dan tetap bertahan dengan menganggap wajar terjadinya kekerasan tersebut pada diri mereka sendiri. Sekali lagi ini tentang paradigm, paradigm yang telah mengakar dan dianggap benar, paradigm patriarki dimana laki-laki adalah makhluk superior sementara wanita adalah makhluk kelas dua.

0 komentar:

Posting Komentar