Selasa, 16 Agustus 2011

AKU DAN 17 AGUSTUS (PART I)

Oleh: Zuraida

Merdeka! NKRI adalah harga mati! Allahuakbar!!
Jargon seperti itulah yang saat ini terngiang dalam benakku. Benar-benar jargon heroic-nasionalis yang tak ada tandingannya. Maklum, besok kan tanggal 17 Agustus, peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Adikku dan anak-anak sekolah lainnya sibuk mempersiapkan pakaian seragam dan stamina mereka. Seragam disetrika sampai licin dan stamina dikuat-kuatkan semaksimal mungkin dengan tambahan berbagai suplemen supaya tahan berjemur di bawah matahari saat upacara besok. Para pegawai kantoran juga tidak kalah sibuknya, melicinkan pakaian seragam mereka dan memperkuat stamina, selain juga berpikir bahwa setelah upacara mau kemana karena kerja otomatis diliburkan. Sementara aku, ah, santai saja, malahan malam ini begadang mencoba memikirkan tentang sesuatu.
Suasana kotaku juga agak berbeda. Hampir di setiap rumah berkibar dengan gagah sang saka merah putih. Di daerah perkantoran, pertokoan, supermarket, pasar, mall dan tempat public lainnya juga tidak kalah semarak oleh warna merah-putih dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada bendera, umbul-umbul, spanduk, kertas minyak merah-putih yang dirangkai panjang-panjang, baleho, dan lain sebagainya. Suasana kotaku rasanya sangat formal, nasionalis dan Indonesia banget. Bahkan dibeberapa tempat, tanggal 17 Agustus tidak hanya dirayakan dengan memampangkan merah-putih berbagai ukuran, tetapi juga dimaknai secara lebih mendalam dengan berbagai perlombaan yang mungkin melambangkan “perjuangan”. Selain itu, pada kalangan tertentu, yang lebih intelektual dan terbatas, perayaan 17an Agustus ini dilakukan dengan “mendiskusikan” kemerdekaan.
Kebetulan kali ini tanggal 17 Agustus bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, salah satu malam “keramat” sepanjang bulan ramadhan, yaitu malam nuzulul qur’an. Sudah dapat dipastikan bahwa perayaan 17an kali ini lebih semarak dan variatif. Terkait dengan 17 ramadannya, maka sebagian besar masjid akan lebih ramai dari biasanya, karena terkadang akan ada ceramah tentang nuzulul qur’an sekaligus khataman tadarrus Al-Qur’an yang terbilang istimewa. Beberapa masjid atau kelompok remaja masjid bahkan ada yang berinsatif untuk merayakannya dengan berbagai jenis perlombaan kategori “Islami”, seperti lomba baca qur’an, lomba azan, lomba hafalan surah pendek dan lain sebagainya. 
Bagiku, momentum 17an, 17 Agustus dan 17 ramadan yang jatuh bersamaan kali ini, merupankan sebuah pertanda alam yang mengindikaskan bahwa tanggal tersebut benar-benar istimewa. Tanggal tersebut seolah mengingatkan kita bahwa ada dua dimensi kehidupan manusia Indonesia yang harus diperhatikan dan mampu dijalankan secara seimbang yaitu, sebagai umat dan bangsa. Sebagai umat, semangat 17 ramadan yang harus dihayati tentunya harus lebih mendalam daripada ritualitas yang dirayakan. Nuzulul qur’an, setidaknya, mengajarkan kita mengenai integritas pribadi bahwa sebagai umat kita memiliki pedoman dalam bertindak dan berkehidupan yaitu Al-Qur’an. Sementara itu, sebagai bangsa, semangat 17 Agustus harus mampu dihayati sebagai sebuah titik tolak untuk terus berjuang membangun Negara bangsa  Indonesia ini agar senantiasa menjadi lebih baik. Oleh karena itu, 17an kali ini, menurutku, yang terpenting adalah penghayatan dan pengamalan oleh setiap anak bangsa untuk berjuang membangun Negara bangsa Indonesia agar senantiasa diridhai oleh Tuhan. Dengan kata lain, kita tidak hanya bicara tentang nasionalisme, tetapi relijiusitas atau kesalehan social; tidak hanya bicara mengenai pembangunan materil bangsa, tetapi juga landasan keyakinan dalam pembangunan tersebut.




0 komentar:

Posting Komentar